X-Steel Pointer

Sabtu, 27 Juli 2013

baca cerita lupus online

NGRITIK NI YEE

PPS, Posma, Plonco, Mapram, Mapras atau apa kek namanya, persetan!
Gini ya, sebetulnya saya masih nggak ngerti apa yang bisa ditarik dan didapat dari program kuno norak tersebut. Coba apa? Apa hikmah pelajaran yang didapat dari itu semua? Terus terang, saya antipati dengan yang begituan itu. Hanya orang-orang yang bodo aja yang mau terjebak ikut gituan' Beneran. Saya heran, kok ya selama ini ada orang yang mau ngikut program gituan. Apa sih SMA Merah Putih' itu? Kayak lembaga yang gimanaaa gitu. Mau masuk aja harus ikut PPS, Posma, Mapram, Mapras, Plonco, dsb, dst, dll....
Padahal pas udah jadi pelajar beneran juga belum temu serius belajar. Nggak terus jadi hebat, kuat mental, tahan cobaan, dsb! Kebanyakan malesnya. Sekolah cuma buat formalitas, iseng-iseng daripada nganggur. Numpang bercanda, nggosip, nampang, cari perhatian, nyombong... wah, macem-macem deh. Iya, kan? Hayo, ngaku aja.
Makanya, buat apa ikutan program tersebut?
Apalah artinya jika setelah itu kita masih bersikap childish. Kekanak-kanakan. Apa tujuan program itu diadakan! Jawaban dari mereka-mereka adalah (sudah pasti) klise, "Begini, soalnya agar para siswa nantinya cinta pada sekolah , mentalnya kuat. Ini kan sebagai tes mental. Sebagai cobaan. Supaya begini agar nanti begitu...."
Gombal!
Ketahuilah bahwa tes mental yang sebenarnya ada pada kehidupan yang sedang kita jalani. Bagaimana kita menghadapi segala cobaan yang menerpa diri kita. Itu baru namanya tes mental! Bukan seperti Posma, Mapras, Plonco..., yang begini sih apaan. Norak! Yang ada di kegiatan tersebut cuma sandiwara belaka. Kepura-puraan yang nggak lucu. Permainan orang-orang frustrasi, gila hormat, gila perhatian, kompensasi negatif..., pokoknya nggak sehat sama sekali.
Apa sih yang mau ditunjukin oleh mereka-mereka sebagai panitia program tersebut? Memerintah ini dan itu, marah-marah, membentak-bentak orang tanpa alasan yang jelas (pura-pura galak ni ye...). Emangnya main drama? Atau mungkin mereka adalah para seniman gagal? Bisa jadi.
Tapi, apa nggak ada cara yang lebih manusiawi? Terutama kalau di universitas-universitas. Ih! Kan ada penataran P4 sebagai gantinya itu semua. Jangan dikira orang-orang yang digojlok .itu nggak sakit hati, lho! Mereka kan juga manusia, bukan robot.
Ada juga yang bilang sebagai perkenalan antara para senior dengan murid baru. Kayaknya kalau cuma sebagai perkenalan nggak perlu pake guling-gulingan di tanah, push-up, muka dicoreng-coreng kayak Hiawata (kalo nggak tau Hiawata, Humpa-pa juga boleh!)
Demi Tuhan, dari kecil saya nggak punya cita-cita untuk diperlakukan seperti itu. Udah gitu seharian lagi. Kadang sampai malam (katanya!).
Coba bayangkan, bagaimana kalau sampai ada yang pingsan lalu koit. Mungkin saya terlalu berlebihan dan emosional dalam melihat masalah ini, tapi bukan tak mungkin hal itu terjadi. Soalnya daya tahan orang kan nggak sama. Terutama yang cewek-cewek. Coba bayangkan, bagaimana perasaan orang tua mereka jika anak yang diharapkan untuk jadi 'orang', meninggal hanya gara-gara ikut Posma. Saya bukan mengada-ada nih. Emang bener ada. Adda aja! Adalah bohong alias nonsense bahwa Posma itu untuk menambah keakraban antara para senior dengan siswa baru (sok akrab ah!). Kalau mau akrab, kenapa nggak kenalan aja secara baik-baik dalam suasana damai dan bersahabat. Kan lebih simpatik dan beradab, ya nggak? Percaya deh, program 'pembantaian' itu sungguh nggak sehat. Cuma menimbulkan rasa tak senang, rasa dendam, rasa permusuhan dan rasa-rasa antipati. Pokoknya yang bersifat negatif.
Bayangkan, udah uang sekolah masuk SMA ini mahal, ikut Posma (bayar uang formulir juga), disiksa.... Wah! Tapi kok pada nurut aja? Aneh tapi nyata. Berontak dong! Kita kan di negara ini punya hak untuk bersuara. Bebas. Merdeka. Hak untuk tidak diperlakukan semena-mena. Sesuai dengan UUD '45 pasal 28 dan pasal 27 ayat 2 (Cie... hapal ni ye...). .
Jika saja saya nantinya mengalami hal-hal seperti tersebut di atas dan untuk itu saya diberi sertifikat Posma/PPS, saya akan bakar kertas sialan itu.
Fortunately, I didn't have such a disgusting, miserable and useless thing. Because I didn't and I'll never participate in an uncivilized program for the rest of my life. Honest! (Yang masih susah menangkap arti kata-kata ini, atau emang nggak ngerti sama sekali, bunuh diri aja mendingan.:..)
Sembilan dari sepuluh dokter yang saya minta pendapatnya mengatakan bahwa Posma tidak baik dan sangat tidak sehat bagi perkembangan mental. Memperlemah daya hidup. Dengan kata lain, hanya orang-orang idiot sajalah yang mau mengikuti, dan hanya orang-orang yang berpenyakit jiwa sajalah yang terlibat sebagai panitia.
Bener. It's okay? Mudah-mudahan selebaran ini bisa jadi input buat kita. Agar mata hati kita jadi terbuka. Abu Nidal.
***
Itulah selebaran yang beredar tadi pagi. Ditempel di tembok-tembok, di papan pengumuman atau di kantin. Dan tentu saja para panitia Mapras seperti ditempeli tai kodok wajahnya. Marah, malu, kesal. Tapi siapa yang mengedarkan selebaran gelap itu? Yang meminjam nama teroris jebolan PLO itu? Gila, penulis gelap itu benar-benar mau cari setori.
Bisa ditebak, Andang-lah yang paling kebingungan dengan beredarnya selebaran gelap tersebut. Soalnya, dia yang paling ambisius mengadakan program Mapras itu.
Kemarin-kemarin, dia memang nampak (sok) sibuk sekali ngurusin pembentukan panitia. Walau bukan ketua OSIS, tapi semangatnya melebihi semangat kaum pejuang angkatan '45. Waktu ada rapat panitia, bicaranya berapi-api. Kayak uler naga.
Makanya, kini dia bingung sekali. Dengan cepat, dia mengumpulkan para anak buahnya dalam rapat gelap seusai sekolah.
"Bagaimana ini? Semua bisa berantakan. Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan kayak gini. Kalian tau semua, pamflet itu sudah tersebar ke mana-mana. Semua anak baru pasti sudah membaca. Dan bagaimana kalau mereka terpengaruh dan mengadakan aksi protes? Huh, sial. Pasti ada oknum yang nggak suka sama rencana kita bikin Mapras. Memang sih, kegiatan kayak begini nggak boleh lagi. Tapi yang namanya tradisi nggak boleh hilang dong!" Andang nyerocos.
Teman-temannya cuma manggut-manggut aja.
Lupus juga. Lagi nggak interes sama kicauan Andang. Dia ngamuk berat. Ini kan jamnya orang tidur siang. Mending kalau rapatnya ada konsumsi. Huh!
Tapi kamu nggak tau masalahnya, ya? Gini. Si Andang, dengan rekomendasi dari ketua OSIS- terpilih jadi ketua program Mapras. Kegiatan ini sendiri secara tertulis sebetulnya tidak boleh. Pun di universitas-universitas. Diganti dengan yang lebih mendidik, seperti P4, kebersihan kelas, dan sebagainya! Tapi, seperti biasa, apa yang tertulis tidak selalu cocok dengan kenyataannya. Apalagi SMA Merah Putih ini bukan sekolah negeri. Jadi peraturan bisa sedikit lain dengan negeri. Dan Mapras itu sudah mentradisi di setiap tahun ajaran baru. Nggak berat sih, nggak kayak di universitas swasta. Tapi ya yang namanya Mapras, tetap saja nyebelin. Jadi nggak adil dong kalau tahun ini program gelap itu ditiadakan. Makanya anak-anak kelas dua dan tiga ngotot mau mengadakan Mapras. Sedangkan guru-guru cuma angkat bahu saja, memaklumi acara yang sudah mentradisi ini.
Tapi kalau anak-anak kelas satunya berontak, berarti mengancam kelangsungan jalannya kegiatan tersebut. Beneran. Soalnya secara resmi, anak-anak senior tak punya izin dari kepala sekolah.
Makanya mereka sekarang kebingungan. .
"Ayo dong, gimana jalan keluarnya. Apa kita harus mencari siapa yang membuat dan menyebarkan pamflet tersebut? Ayo dong. Ada pendapat nggak? Lupus, kamu kok dari tadi diem melulu. Gimana nih wartawan kita...."
Lupus cuma menggaruk-garuk rambutnya dengan males. Dia di samping ngantuk memang lagi sedih banget. Gara-gara di- PHK sama ceweknya, Poppi. Jadi sama sekali nggak lagi mood untuk ngasih ide. Andang pun melemparkan pertanyaan kepada anak lainnya. Di situ ada Irvan, Boim playboy duren tiga, Andy, Roni, bahkan Ruri biang gosip yang cerewet. Tumben, kali ini Ruri nggak banyak omong. Mungkin lagi sakit gigi. Tapi kompensasinya jadi kentut melulu. Sudah tiga anak jadi korban, dan pindah tempat duduk. Nggak mau dekat-dekat dia lagi.
Rapat pun semakin ramai ketika ketua OSIS muncul. Anak-anak lain juga mulai berdatangan. Membahas kemungkinan siapa yang membuat pamflet itu. Membahas jalan keluar yang ditempuh. Ketika mereka saling berdebat, Lupus jadi suntuk. Secara diam-diam dia menyelinap keluar.
Dia memang kurang suka acara begituan. Mending jajan, terus pulang.
***
Sampai keesokan harinya, mereka para senior belum menemukan jalan keluar yang baik. Juga siapa penulis selebaran gelap itu. Meski sudah dipastikan ada dua kemungkinan, anak baru atau justru seorang senior yang nggak setuju diadakannya acara tersebut.
Cuma Lupus yang kelihatan tak peduli.
Ketika bel istirahat, dia duduk sendirian di belakang kantin. Menikmati bihun goreng yang dibungkus daun. Secara iseng membaca selebaran yang konon membuat heboh itu. Sebagian memang sudah dirobek, tapi secara misterius bisa muncul kembali.
Lupus membaca dengan saksama. Hm, boleh juga, gumamnya. Tapi tiba-tiba dia menemukan sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa mengungkap kan rahasia si penulis gelap tersebut. Ini pasti bikinan anak baru. Yang nggak setuju diadakan Mapras. Karena di beberapa bagian, dia menyebutkan bahwa dia belum pernah mengikuti Mapras. Dan meski tampak berusaha menghilangkan identitas, emosinya menunjukkan emosi seorang cewek. Ditambah beberapa kalimat berbahasa Inggris yang kelihatan nge-prof. Aha, dengan data-data ini masak nggak bisa menemukan siapa penulisnya?
***
Lupus sama sekali tak mengira kalau yang namanya Rina itu orangnya kecil, lembut dan ehm, manis. Anak itu begitu pucat dan ketakutan ketika sadar bahwa rahasianya telah terbongkar.
"Nggak sulit, tadinya cuma menebak aja. Saya melihat ada tiga petunjuk. Pamflet itu menunjukkan kelincahan, emosi, dan kemampuan berbahasa Inggris si penulis. Tak banyak yang memiliki tiga kelebihan seperti itu. Maka saya pergi ke kantor administrasi sekolah. Melihat semua data anak kelas satu. Kamu mungkin ingat, ketika baru masuk sekolah setiap siswa diharuskan menyerahkan biografi singkat beserta prestasi yang pernah diraih, untuk memudahkan penyaluran pelajaran ekstrakurikuler. Iya, kan? Dan di situ saya membaca namamu. Rina. Prestasi: juara mengarang berbahasa Inggris yang diadakan oleh UNICEF. Nah, klop sudah. Hanya kamu yang memenuhi tiga petunjuk itu. Ditambah lagi alamat rumahmu dekat dengan sekolah. Itu memudahkan kamu untuk menempel pamflet di malam hari. Dan sekaligus memudahkan saya mencari rumahmu.
"Ngomong-ngomong, jago juga Inggris-mu. Belajar di mana? Pernah ke luar negeri, ya?" tanya Lupus panjang lebar.
Rina tak menjawab. Dia masih tampak ketakutan.
"Tap... tapi, Kak, saya tidak... eh, maksud saya, saya cuma melampiaskan rasa kesal saya. Saya benci sekali acara mapras-maprasan seperti itu."
"Kenapa?"
Dia tak segera menjawab. Seperti menimbang-nimbang dulu. Lupus tetap menunggu.
"Karena Kakak saya. Dia cedera waktu ikut Mapras di universitasnya. Ketika itu dia disuruh membawa balon gas yang banyak ke atas gedung untuk dilepaskan. Tiba-tiba ada seorang panitia yang merokok. Apinya mengenai balon tersebut. Seketika meledak. Wajah kakak saya terbakar. Terpaksa dirawat di rumah sakit. Siapa yang menanggung risiko kalau begini?"
Lupus tercekat. Dia melihat mata Rina berair.
Dia sendiri sebetulnya kurang suka pada acara tersebut. Apalagi kalau mendengar cerita-cerita orang lain yang tampak sadis. Pantas saja Rina begitu menentang mapras di SMA Merah Putih.
"Tapi kamu lupa, Rin, itu kan di universitas. Dan kini juga mulai dilarang kalau sampai keterlaluan. Itu juga bukan disengaja. Nah, untuk SMA kita, nggak terlalu berat kok. Paling membersihkan halaman, kelas, dan yeah, dibentak-bentak sedikit. Kamu tau, Rin, masa-masa perkenalan sekolah itu adalah masa yang paling berkesan buat kita, sebagai remaja. Saat kita merasa senasib, nggak beda kaya atau miskin. Sama-sama dicabut haknya. Pokoknya berkesan deh, meski kalau disuruh mengulangi... wah. Amit-amit. Ogah. Saya juga tadinya benci sekali. Tapi pas malam terakhir, di mana kita semua bikin acara ke luar kota, wah- rasanya terharu sekali. Rugi deh, kalau nggak pernah ngerasain."
Dan beberapa hari kemudian, Mapras itu sendiri tetap dilaksanakan. Kep-sek berbaik hati menurunkan izin resminya, sehingga anak-anak kelas satu mau nggak mau harus ikut. Tentu saja Lupus tetap merahasiakan identitas Rina, sehingga ketika Mapras itu berlangsung, para panitia sudah melupakan selebaran tersebut.
Lupus kini sedang sibuk mencari-cari Rina di antara para siswa baru yang dikuncir lima rambutnya. Maksudnya, siswa cewek, gitu. Semua siswa baru itu sedang mendapat tugas meminta tanda tangan para senior sebanyak-banyaknya. Tentu saja para senior jadi serasa bintang film ngetop, dikejar-kejar untuk dimintai tanda tangan.
Hm, Rina bener juga. Anak-anak senior memang lagi pada norak. Apalagi Boim. Dengan kampungannya dia menyuruh setiap siswa baru merayunya untuk mendapatkan satu tanda tangan.
"Lupuuuus..." panggilan nyaring di kejauhan mengagetkannya. Lupus menoleh, eh... itu dia si Rina. Berlari-lari kecil ke arahnya sambil tertawa senang.
"Trims ya, kamu nggak ngadu soal selebaran itu. Bayangin aja kalau para senior tau. Wah, saya bakalan dikerjain. O ya, minta tanda tangannya dong, Kak Lupus."
Lupus tersenyum sambil memberikan sepuluh tanda tangan di buku Rina.
Dan ketika Mapras berakhir, semua siswa baru berkumpul membentuk lingkaran api unggun. Udara malam dingin menggigit. Tapi kehangatan menyelimuti masing-masing siswa. Irvan, tampak lengket dengan salah satu siswa baru. Boim juga begitu. Apalagi Andang. Wih, mesra. Maka nggak salah kalau Lupus pun berdiri berdekatan dengan Rina.
Semua menyanyikan lagu Auld Lang Syne.
Tapi sebetulnya lagu itu lebih pantas Lupus nyanyikan untuk Poppi, bukan untuk Rina. Dan kayaknya sekarang sudah jelas, apa arti Mapras bagi mereka semua. Ya, apa lagi sih kalo bukan cari jodoh. He he he....

baca cerita lupus online

SAKIT GIGI

PERNAH sakit gigi?
Kalau mau tau rasanya, tanya aja sama Lupus. Sekarang ini dia lagi uring-uringan banget nggak bisa tidur gara-gara sakit gigi. Rasanya, ngujubileh! Senut-senut kayak disetrum listrik ribuan watt. Kalau disuruh milih, Lupus lebih mau sakit hati daripada sakit gigi. Kalau sakit hati kan setidak-tidaknya bisa cuwek. Nggak usah dipikirin, walau hatinya dongkol. Tapi kalau sakit gigi? Gimana bisa cuwek? Tidur aja nggak bisa. Padahal segala macam obat sudah dicoba. Dari ramuan tradisional macam minum air garam, menetesi gigi dengan getah daun kemboja, sampai minum antibiotika, tetap aja terasa sakit.
Dasar penyakit nggak tau diri. Padahal kan ini sudah lewat jam dua belas malam. Waktunya orang lain tertidur nyenyak. Mbok ya ditunda dulu dilanjutkan besok pagi. Kasihan kan si Lupus nggak bisa tidur. Mana besok pagi ada ulangan lagi.
Tapi Lupus memang bandel juga sih. Kebanyakan makan permen karet atau makanan yang manis-manis lainnya. Makanya nggak heran kalau giginya jelek banget. Pada bolong-bolong. (Tapi nggak kuning, lho. Dia cukup rajin gosok gigi kok. Sehari tiga kali.)
Sebetulnya tadi siang, waktu Lupus mengeluh terus karena sakit gigi, ibunya sudah menyuruh ke dokter gigi. Tapi Lupus ogah. Dia paling alergi pergi ke dokter. Ngeri ngeliat alat kedokteran yang tajem-tajem. "Serasa menyerahkan diri untuk dibantai!" tolaknya.
Dan akibatnya sekarang? Semaleman dipaksa begadang. Rasanya pingin banget dia teriak keras-keras. Habis keki, kok yang lain bisa-bisanya tertidur lelap. Apalagi si Lulu, adiknya. Ngoroknya terdengar saingan dengan suara kodok-kodok di luar. Sinkron banget. Seolah ngeledek Lupus. Hampir-hampir aja Lupus punya niat jahat membunyikan weker antiknya yang bisa ngebangunin orang sekelurahan. Biar pada ikutan bangun.
Besoknya, Lupus belum mau ke dokter. Dia masih berharap rasa sakitnya akan hilang sendiri.
"Kan sesuatu itu nggak ada yang abadi...," kilahnya. Tapi sampai sepulang sekolah, penyakit itu masih betah mengidap di giginya yang kecil - kecil.
"Mungkin kamu jarang sikat gigi...," cetus Boim kala mereka barengan pulang sekolah.
"Enak aja nuduh! Kamu barangkali yang kayak gitu...!" sahut Lupus kesal.
Di rumah, Lulu juga berbaik hati menghiburnya. Coba-coba cerita yang lucu-lucu. Tapi Lupus nggak ketawa sedikit pun.
"Jangan coba-coba ngelucu ya, di kala orang lain kesusahan! Nggak bakalan sukses!" bentak Lupus sewot.
"Siapa bilang? Kamu aja yang nggak punya sense of humor yang tinggi. Khadafi aja waktu negaranya dibom Amerika sempet- ngelawak juga. Nggak kayak kamu, baru sakit segitu aja bingungnya kayak orang kebakaran jenggot...."
Lupus mengernyitkan alisnya. "Kok kamu tau? Baca di mana?"
"Iya. Waktu itu dia langsung ngirim surat sama Reagan. Isinya singkat, 'Ngebom ni ye...' "
Lupus jadi setengah mati menahan senyum.
Tapi malamnya dia benar-benar kapok. Dan bersumpah akan ke dokter gigi besok pagi. Whatever will be, will be. Mau dicabut kek, dibor kek, atau. sekadar dikritik, '0, Lupus, betapa Jeleknya gigimu....' Terserah!
Dan besoknya, pagi-pagi, dia sudah nongkrong di rumah sakit. Di poliklinik gigi. Menunggu dengan pasrah sampai seorang suster memanggil namanya dan menyuruh masuk.
"Silakan lho, jangan malu-malu...," kata suster itu genit.
Lupus mencibir sewot.
Dan di dalam, dia diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan norak. Seperti, 'Sering sikat gigi?'; 'Punya sikat gigi berapa di rumah?'; 'Odolnya pake merek apa?', Apa suka gosok gigi pake batu bata?'; and so on.
Sampai akhirnya, "Oke deh, saya periksa gigi kamu. Silakan duduk di kursi periksa itu."
Lupus nurut. Dan sempat bergidik melihat alat-alat pembantai yang berjejer di hadapannya. Sementara dokter cewek itu memakai penutup hidung (itu lho, kayak orang mau dioperasi), dan menyiapkan alat-alat pemeriksa dibantu oleh suster. Lupus jadi rada tersinggung. Dikata mulutnya bau banget apa, sampe perlu pakai tutup hidung segala.
Dokter itu lalu menyuruh Lupus membuka mulut lebar-lebar.
"Ck.. ck... ck..., giginya jelek amat? Kamu pasti suka makan makanan yang manis-manis, ya?"
Lupus sudah mengira bakalan dikritik begitu. Makanya dia tabah.
"Ya, Dokter. Saya suka sekali makan permen karet, coklat."
"Kayak anak kecil aja. Makanya giginya pada bolong-bolong begini. Kenapa sih kamu suka yang manis-manis ?"
"Kan biar tambah manis.... "
Dokter itu ketawa ngakak.
"Oke deh. Sekarang siap-siap aja. Giginya mau saya tambal. Soalnya kalau terasa sakit, nggak boleh dicabut. Lagian, selama masih bisa diselamatkan nggak usah dicabut dulu. Jadi tahan aja. Nggak sakit kok. Paling cuma ngilu sedikit. Siap?"
Lupus langsung menutup matanya rapat-rapat.
***
Siang itu Lupus lagi tertidur dengan nyenyaknya, ketika Lulu membangunkan.
"Bangun, Pus, itu ada temen kamu di depan."
"Aaaah, siapa sih? Tamu kok nggak tau waktu. Ini kan saatnya tidur siang.... Suruh pulang aja deh. Saya ngantuk banget...," keluh Lupus malas.
Dia memang sudah dua hari ini kurang tidur. Sekarang giliran bisa tidur, dibangunin.
"Apa-apaan sih kamu? Kayak artis aja."
"Tapi salahnya sendiri datang pada Jam tidur.... "
"Jam tidur? Sekarang sudah setengah lima, tau! Udah sore. Sana cepet temuin. Kasian kan datang dari jauh. Cewek lagi...."
"Hah? Cewek?" Lupus langsung melompat turun. "Kok nggak bilang dari tadi? Kece nggak?"
"Liat aja sendiri. Ogut mau mandi."
Lupus langsung nyerobot ke kamar mandi. Cuci muka dulu dan sikat gigi bersih-bersih. Lalu berjalan ke depan.
"Eh, kamu. Kok tumben datang?" sapa Lupus begitu melihat Rina duduk termalu-malu di teras rumah.
"Iya. Eng... saya abis dari rumah sodara di ujung gang sana. Kebetulan lewat sini. Jadi ya mampir aja. Saya juga nggak bisa lama, kok. Ditungguin Mama. Saya cuma mau ngasih bingkisan ini. Buat kamu. Mau, kan?"
"Buat saya?" Lupus terheran-heran menerima bungkusan itu.
"Iya. Yuk deh, saya pulang dulu...."
"Eh, tunggu. Eng, kok cepet-cepet banget?"
"Abis ditungguin. sih. Sampe ketemu deh di sekolah. Yuk!"
"O... iya deh. Makasih banyak, ya?"
Rina tersenyum malu, lalu gadis kecil itu berlari ke arah mobil yang berhenti di depan. Sesaat sebelum pergi, dia melambaikan tangannya. Lupus membalas dengan senyumnya yang lebar. Mimpi apa ya dia?
Lupus segera membuka bingkisannya. Ada secarik kertas yang jatuh. Berwarna biru muda. Warna favorit Lupus. Lupus segera memungutnya, dan membaca.
"Buat Kak Lupus,
Kebetulan tadi saya jalan-jalan di pasar swalayan, dan saya melihat sekotak permen karet dalam kemasan yang manis terpampang di sana. Saya jadi ingat kamu. Kamu yang suka mengulum permen karet kalau pulang sekolah. Makanya, saya ingin sekali membelikannya untuk kamu. Supaya kamu senang.
Sekarang permen karet itu sudah berada di tanganmu. Untuk sekadar nyenengin saya, mau kan kamu memakannya? Sampai abis juga boleh. Nanti saya kasih lagi deh.
Salam manis,
Rina."
Lupus nggak tau harus ngomong apa. Mau senang atau, malah sebel. Senangnya karena dia memang naksir si Rina waktu Mapras kemarin itu. Sebelnya, ya... kamu kan tau sendiri, saat ini dia baru sembuh dari sakit gigi. Masak disuruh makan permen karet? Satu kotak, lagi.
Tapi siapa sih yang bisa mengukur kekuatan cinta? Apalagi cinta yang baru saja tumbuh. Maka tanpa berpikir panjang, sore itu dia asyik mengulum permen karet lagi. Demi menebus dosa, karena dia telah keduluan Rina dalam menyatakan perasaannya. Dan juga supaya Rina nggak kecewa. Dia sama sekali nggak peduli sama nasihat dokter untuk tidak memakan permen karet lagi.
Dan malamnya, sekali lagi Lupus nggak bisa tidur. Giginya kumat lagi. Senut-senut kayak kesetrum. Tapi Lupus nggak sedih lagi. Sebab kali ini, meski nggak bisa tidur, ada yang bisa dipikirin.
Dan kadang, sakit gigi itu enak juga lho....

Kamis, 25 Juli 2013

BACA CERITA LUPUS


 LUPUS
PHKLupus.jpg
Pasalnya ya karena si Lupus. Makhluk itu selama ini memang dikenal sebagai 'teman tetap' Poppi. Kadang jajan di kantin sama-sama, ngerjain temen sekelas sama-sama, bikin pe-er sama-sama atau juga ngejar layangan putus yang kadang nyasar ke lapangan kalau lagi pelajaran olahraga.
Pokoknya kompak deh! Apalagi kalau lagi musim ulangan. Tapi belakangan ini Lupus jarang masuk. Jarang maen ke rumah Poppi. Meski memang tidak pernah rutin malam Minggu apel, tapi nggak biasanya sampai tiga kali berturut-turut seperti kali ini. Poppi memang maklum sama sifat Lupus yang angin-anginan. Yang nggak bisa dipegang buntut-buntutnya. Sebagai cewek, dia udah begitu cukup pengertian. Tapi Lupusnya ini, kok ya nggak sadar-sadar. Selalu bikin keki.
Seperti waktu Ruri, cewek yang doyan nggosip itu, sibuk nggosip tentang dirinya sendiri (Kok ada ya orang yang begitu?). Ke sana ke sini memamerkan foto close-up yang katanya cowoknya yang baru, "Newcomer. Baru semalem resmi jadi pacar saya yang ketujuh," katanya bangga.
Dadanya sampai membusung (eh, nggak jorok, lho!). Lupus yang datang ke kelas belakangan, tak luput kena pameran foto tunggal tersebut.
"Kece nggak, Pus?" Ruri berkata penuh semangat.
"Siapa sih? Penyanyi dangdut, ya?" tanya Lupus serius.
Ruri jelas keki berat.
SUATU kali dalam hidupmu, pernahkah kamu merasa begitu sepi? Membuka jendela kamar kala semuanya terlelap dalam mimpi, dan merasa sendirian di tengah alam semesta yang begitu luas?
Pernahkah?
Pernahkah kamu merasa begitu benci kepada tawa anak-anak kecil yang bermain di halaman sebelah rumahmu? Sehingga lagu terindah bagimu hanyalah gesekan angin pada pucuk-pucuk cemara dan rontoknya daun-daun kering di musim kemarau?
Nah, ketauan. Kalau begitu kamu pasti lagi frustasi. Ngaku aja. Samaan kok sama Poppi. Poppi ini belakangan memang sering uring-uringan kayak gitu. Kerjanya seharian, kalo enggak dengerin kaset-kaset model Patah Hatinya Rachmat Kartolo (enggak usah berlagak mikir, kamu pasti apal lagunya. Eh, kita nggak nuduh lho, cuma nebak aja!), ya nyoret-nyoretin buku harian. Atau bengong berat kayak seniman keabisan inspirasi. Nggak napsu makan, nggak napsu bobok, dan yang paling gawat, jadi segen mandi.
Tapi sebetulnya nggak bakalan segawat ini kalo nggak ada gosip yang mengatakan bahwa Lupus punya cewek lagi. Nggak jelas pacaran sama siapa, tapi desas-desus itu memang lagi ngetop. Ada yang bilang sama artis penyanyi kondang Evita Fanny, ada yang bilang sama anak kelas satu yang baru.
Poppi tadinya nggak begitu mudah percaya, tapi bukti-bukti memang ada. Dua hari yang lalu, anak itu memang masuk. Dengan santainya menaruh tas di bangku, lalu kelayapan keluar kelas lagi. Sama sekali tak menyapa Poppi yang duduk dengan manis di bangkunya. Sibuk ngeceng ke kelas-kelas baru.
Poppi jelas panas. Buntut-buntutnya ya seperti tadi itu. Samaan sama kamu. Suka ngelamun sendirian. Kenapa ya, cowok itu cenderung nggak setia? Apa karena di dunia ini memang lebih banyak cewek, sehingga cowok leluasa pacaran dengan lebih dari satu cewek? Biar adil, kebagian semua, begitu? Ih, amit-amit. Itu pendapat gila. Nggak berperikewanitaan. Lebih baik cewek-cewek nggak usah pacaran sama sekali. Lagi pula, apa sih hebatnya Lupus itu? Kalau mau saya bisa aja mendapat sejuta 'lupus' lain yang lebih dan dirinya, batin Poppi.
Memang benar. Poppi toh cantik. Dengan rambutnya yang lebat itu, banyak cowok yang enggak tahan untuk tidak melirik beberapa detik kepadanya. Terus kenapa Poppi jadi begitu frustasi hanya karena Lupus?
Itulah cinta.
-Poppi sudah terlanjur menyukai semua yang ada pada diri Lupus. Orang yang lebih baik atau lebih cakep dari Lupus itu banyak. Jalan-jalan di pasar swalayan, kamu bisa menemukan makhluk kayak begitu sepuluh biji. Tapi ibarat barang tiruan, yang sama ya luarnya aja. Isinya tetap nggak ada yang se-qualified Lupus (taela!). Maksudnya sifatnya, tingkah lakunya, lengkap sama gaya-gayanya yang rada norak. Juga sikapnya yang penuh perhatian, walau kadang bikin keki. Gimana nggak penuh perhatian? Dia bisa begitu sopan di depan orang tua Poppi. Bukan sopan yang dibuat-buat, tapi nampak wajar. Di samping juga sering membawakan mereka oleh-oleh. Jarang-jarang lho, ada cowok yang begitu memperhatikan calon mertuanya kayak gitu. Pun ketika lebaran kemarin, dia dengan serius ngomong sama Poppi, "Pop, sayang sekali untuk lebaran kali ini, rejeki saya nggak begitu banyak. Tapi biar deh, demi kamu saya ngalah aja. Saya rela, lebaran kali ini biar calon mertua kamu aja yang saya kasih hadiah...."
Poppi yang tadinya udah siap-siap untuk terharu, jadi keki banget.
Di samping itu, Lupus juga ngetop sekali. Fans-nya bukan hanya di lingkungan sekolah dia aja, tapi juga melimpah ke luar sekolah. Buktinya kalau dia turun dari bis sepulang sekolah, histeria massa selalu terjadi. Puluhan abang-abang becak dengan semangat '45 menarik-narik bajunya. Bukan minta tanda tangan, cuma mau menawari (dengan sedikit paksa) Lupus untuk naik becaknya.
Lupus juga termasuk anak yang susah dikerjain. Padahal dia hobi banget ngerjain orang. Sampai pernah suatu ketika anak-anak cowok di kelasnya kompakan untuk sekali-sekali ngerjain Lupus. Mereka semua ngumpul di toilet. Mengatur strategi penjebakan.
"Kita kunci aja di WC. Dia kan hobi banget ke belakang. Beberapa dari kita memantau ke mana dia pergi. Begitu masuk wc, kita kunci dari luar. Biarkan beberapa saat sampai dia mabok dulu. Setuju?"
Agak sadis memang, tapi toh pada setuju. wc di sekolah Lupus memang rada sulit dibuka dari dalam, tapi dengan mudah dikunci dari luar. Tinggal mengaitkan engsel kuncinya, beres!
Namun ketika mereka baru selesai berembuk, sampai bela-belain menahan bau yang ngujubileh itu biar nggak ketauan, tiba-tiba Lupus keluar dari wc sambil cengengesan. "Hayo, mau merencana kan usaha pembunuhan ya?"
Teman-temannya yang mengira aman berembuk di toilet itu, jelas pada keki berat. Usaha mereka jadi gatot. Gagal total.
Itu hanya sebagian keunikan Lupus. Belum lagi kisah gombal Lupus waktu nonton film sama Poppi. Dia kelupaan ninggalin Poppi di bioskop sendirian. Langsung pulang aja. Soalnya nggak biasa nonton bareng cewek sih. Di tengah jalan dia baru sadar, ketika merasa ada yang kurang beres.
Tapi sabar itu memang ada batasnya. Saling pengertian itu bisa jalan kalau ada kesadaran dari dua belah pihak. Poppi sudah menjalankan semua itu dengan baik. Tinggal Lupus yang belum. Jadi kenapa harus menyesal putus dengan dia? Poppi malah harus bersyukur, karena dia tau kejelekan-kejelekan Lupus lebih awal. Sebelum segalanya terlambat. Dan cinta itu tidak buta. Justru sebaliknya, kita harus melihat kepribadian pacar kita sampai yang terkecil.
Saya bisa berbuat seperti Lupus! tekad Poppi. Maka, Poppi pun mencampakkan foto Lupus yang lagi nyengir di atas meja belajarnya. Lalu duduk di depan kaca, dan mencoba menyisir rambutnya yang kusut. Di sana, dia seakan menemukan dirinya sendiri. Dirinya yang baru. Dengan semangat baru.
Dan besoknya, dia langsung menolak ketika mau diantar ke sekolah, "Enggak, Pa. Saya mau naik bis aja. Sekali-sekali kan boleh. Pingin seperti teman-teman. "
Bapaknya jelas heran. Soalnya baru sekali ini Poppi nggak mau diantar ke sekolah. Tapi Poppi memang punya alasan yang nggak boleh diketahui orang tuanya. Dia sering denger cerita, orang yang naik kendaraan umum itu lebih enteng jodoh ketimbang yang diantar jemput. Soalnya, kemungkinan ketemu orang yang belum dikenal lebih besar daripada diantar supir sendiri. Apalagi pada jam-jam sekolah, kala bis kota seperti bis sekolah saja. Berisi anak-anak sekolah dari segala jenis.
Poppi belum pernah merasakan itu. Makanya ia begitu ingin. Dia juga tau kalo Lupus itu sering kenalan dengan cewek-cewek lain di bis. Seperti gosip yang menyebar itu, yang mengatakan bahwa Lupus kenal sama cewek baru kelas satu itu di bis. Katanya rumah ceweknya itu dekat dengan rumah Lupus. Suka naik bis bareng-bareng.
Jadi kenapa Poppi nggak coba begitu?
"Tapi sekolah kamu kan jauh, Pop? Harus dua kali naik bis?" bapaknya mencoba membujuk.
"Nggak apa-apa."
"Kalau ada tukang copet atau apa begitu?"
"Nggak takut."
Dan pagi itu, jalanlah Poppi sendirian ke tempat pemberhentian bis. Menunggu metro-mini jurusan Blok M. Tapi Poppi bener-bener nggak nyangka kalau pada jam-jam sekolah begini bis-bis pada penuh semua. Sarat dengan penumpang, yang bukan anak sekolah aja. Tapi kuli-kuli bangunan, orang kantoran atau juga inem-inem yang mau ke pasar. Poppi yang tak mau menanggung rekiso eh, risiko terlambat, langsung saja menyetop metro-mini walau sarat dengan penumpang. Metro itu langsung berhenti. Sejenak Poppi terpana di tempat. Gimana cara masuknya? Kok penuh banget?
"Ayo, Neng, .cepat! Kosong kok di dalam," rayu kondektur itu sambil menarik-narik tangan Poppi. Sementara di bangku belakang, sederetan anak muda bersorak-sorak menggodanya. Dia stil cuwek.
Poppi naik ke tangga. Dari belakang, kondektur yang kurang ajar itu mendorong-dorong dia. Memaksanya untuk masuk lebih ke dalam lagi. Aduuuh . orang kok udah kayak sarden aja? Dijejel-jejelin. Mana atap metro itu rendah sekali. Terpaksa Poppi berdiri sambil membungkuk. Berbaur dengan keringat-keringat orang lainnya. Dan dia keki banget, karena cowok-cowok yang kebagian duduk, nggak mau berdiri untuk memberikan kursinya kepada Poppi. Malah asyik baca buku teks sekolah. Sial, apa ini yang namanya emansipasi?
Tapi pemuda itu ya nggak bisa disalahkan. Dia toh nggak mungkin bela-belain ngasih duduk buat Poppi, untuk kemudian ikutan berbungkuk-ria bersama para penumpang lainnya. Kan pegel sekali tuh. Mana biasanya metro itu jalannya kayak keong. Pelan banget. Nggak puas-puasnya cari penumpang lain. Poppi jadi nyesel. Ternyata naik bis umum tak seindah yang dia bayangkan.
Gimana bisa cari jodoh dengan keadaan kelipet-lipet begini? Apa karena belum biasa aja? Untung hari masih pagi. Saat orang baru pada mandi, dan belum berkeringat. Coba kalo nanti siang. Idih! POPPI jadi nyesel tadi pesan kalo siang nanti nggak usah dijemput.
***
Tapi usaha untuk membalas sakit hatinya tidak kandas sampai di situ. Tak seperti biasanya, Poppi menerima ajakan Fadly yang memang sering menggodanya. Nonton bersama, ke diskotik bersama, ke restoran mewah bersama. Kencan dengan Fadly memang lebih enak. Dia lebih banyak tau tentang tempat-tempat yang biasa dikunjungi remaja. Yang sebelumnya nggak pernah dikunjungi Poppi. Tetapi tetap, Poppi merasa ada yang kurang. Saban malam, dia masih sering merasa sendiri lagi. Kebahagiaan itu memang hadir saat dia berjalan-jalan dengan Fadly. Tetapi setelah itu, dia seperti dikembalikan kepada dunianya yang sepi. Merasa sendiri lagi di waktu malam. Aneh, biasanya nggak begini kok.
Dia bener-bener nggak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau kadang-kadang saat malam telah larut dia rindu pingin ketemu Lupus. Pingin ngobrol-ngobrol dengannya. Pingin jalan-jalan lagi menelusuri pusat pertokoan. Jalan sama Lupus banyak seninya.
Maka malam itu Poppi sudah nggak tahan lagi. Dia buat surat yang panjang sekali buat Lupus. Menanyakan kebenaran gosipnya dengan anak-anak baru di kelas satu. O ya, Lupus sekarang sudah naik ke kelas dua.
***
Di suatu pagi yang dini, Lupus terlihat menghampiri Poppi yang sendirian di kantin sepi. Anak-anak banyak yang belum datang. Memang sudah diatur begitu kok, supaya suasananya lebih mesra.
"Hai, Pop, saya udah terima surat kamu. Hebat. Ternyata kamu berbakat jadi pengarang novelet," sapa Lupus begitu dekat. Poppi membuang muka.
Tapi, oh God, dia rindu suara jelek Lupus itu.
"Dan sekarang terbongkar bukan skandal-skandal mu dengan para bintang-bintang baru itu? Iya?" sahut Poppi ketus.
"Hei, you have no right to say like that to me!" Lupus jadi serius.
"0, yes I do!" Poppi nggak mau kalah, "Ngaku aja. Beritanya sudah menyebar kok. Kamu pacaran sama artis Evita itu, sama anak kelas satu atau sama anaknya ibu kantin yang di Bandung. Iya, kan? Apa sih yang kurang dari saya selama ini? Saya sudah cukup pengertian, cukup sabar, cukup... apa lagi ya?"
"Cukup kasih sayang...."
"Ya, betul. Cukup kasih sayang. Terus apa lagi yang kamu tuntut, he?"
"Enggak ada. Saya nggak nuntut apa-apa kok. Cuma kamu lupa, pacaran itu juga harus pake rasio dong. Pake pikiran yang matang. Kedewasaan."
"Lho, apa kamu anggap saya ini nggak punya rasio?"
"Punya, tapi ketutup emosi kamu. Coba aja kamu pikir, mana sempat saya pacaran dengan gadis sebanyak itu. Sama kamu aja, saya udah sering kerepotan. Saya kan meski masih sampingan, udah kerja juga. Coba-coba belajar cari duit. Hampir seluruh waktu luang saya tersita untuk kerjaan saya di majalah. Wawancara, nulis berita, les Inggris, melukis, belum lagi kalau di kampung ada kondangan. Kan rugi sekali kalau enggak datang.
"Jadi mana sempat? Dan semua itu saya lakukan demi kamu., Demi masa depan saya...."
Poppi jadi diam. Tapi toh belum puas, "Lalu, ngapain kamu setiap masuk sekolah sering ngeceng ke kelas-kelas satu heh? Pokoknya saya minta PHK!"
"Apa itu PHK?"
"Putus Hubungan Kekasih."
"Aduh, Poppi, kamu kok sempit amat pikirannya? Saya ke kelas satu itu juga dalam rangka tugas. Kali ini saya mau nulis abis-abisan tentang posma sekolah. Yang meski dilarang, tapi masih juga ada. Dan sebetulnya tujuannya kan baik. Buat menjalin keakraban, asal tidak disalahgunakan. Itulah, makanya saya bolak-balik ke kelas satu. Minta pendapat dari masing-masing mereka. Kamu ngerti kan sekarang?"
Poppi diam.
"Sebetulnya saya sedih banget nggak ketemu-ketemu kamu. Apalagi saya tau kamu belakangan ini sering pergi sama Fadly. Iya, kan?" Lupus berkata sedih.
Kali ini Poppi benar-benar terharu. "Kamu cemburu ya, Pus?"
"Iya. "
-"Lupus..., sebetulnya saya nggak mau begitu. Saya cuma cari kompensasi aja. Abis kamu juga sih gara-garanya. Tapi sekarang saya percaya kok sama kamu...," suara Poppi makin pelan. Dan mereka saling membisu.
Suasana haru itu terganggu ketika seorang gadis masuk ke kantin. Celingak-celinguk ke dalam. Dan matanya bersinar ketika melihat Lupus.
"Eh, Kakak namanya Lupus ya?" sahut gadis itu kemudian.
Lupus mengangguk heran.
"Aduh, dari tadi dicariin. Ini lho, ada titipan surat dari Wida. Tau, kan? Yang anak kelas satu itu. Katanya balesan surat Kakak yang kemarin...."
Poppi langsung melotot ke arah Lupus.
"Eh, sabar, Pop. Sabar. Namanya juga orang usaha. .. kan boleh. Sabar dong kamunya. Siapa tau isinya ditolak...."
Tapi Poppi langsung pergi meninggalkan Lupus. Tinggal Lupus yang kerepotan seharian merayu Poppi.. ..

baca cerita lupus


LUPUS
Ketika Hujan Turun LagiLupus.jpg

CUACA di luar gelap. Angin bertiup kencang. Ini menandakan sudah tiba musim hujan. Karena di luar memang sedang turun hujan (nenek-nenek juga tau!). Dan air menggenang di mana-mana. Di lapangan olahraga, di dekat perpustakaan, dan yang paling gila-gilaan di bak WC sekolah. Di sana penuh sekali.
Juga di jalanan kecil menuju jalan besar. Air got sudah melimpah ke jalanan. Banjir. Padahal hujan turun belum lama. Dan tadi pagi, waktu Lupus berangkat sekolah, cuaca belum nampak mendung. Masih cerah. Tapi kini, air menggenang di mana-mana.
Betapa suburnya alam Indonesia.
Tapi Lupus tidak bersyukur. Karena dia terpaksa harus menanti hujan reda, untuk dapat pulang tanpa kehujanan. Bikin kesel aja. Tapi apa boleh buat? Terpaksa dia dengan sabarnya bersandar di dinding sekolah. Sambil mengulum permen karet yang rasanya udah ngujubileh pait.
Habis bayangin aja, sudah satu jam lebih dia mengulum, belum dibuang-buang juga. Soalnya dia memang lagi krisis ekonomi. Duitnya kini cuma cukup untuk ongkos pulang. Mana perut lapar, lagi.
Sementara teman-temannya yang lain ada yang masih asyik di kantin. Makan bakso hangat sambil menunggu hujan reda. Ada juga yang masih asyik di kelas. Sibuk dengan pe-er yang ditugaskan buat besok. Tapi tak banyak. Kebanyakan dari anak-anak SMA Merah Putih sudah pada pulang. Dijemput atau pakai kendaraan yang biasa mereka bawa. Ada juga yang nekat hujan-hujanan.
Lupus tidak termasuk yang mana-mana. Tidak juga yang nekat melawan hujan. Bukannya takut sakit, tetapi dia sedang membawa pulang tugas gambar yang akan dikumpulkan besok. Kalau sampai basah kan nggak lucu juga. Soalnya tadi aja dia mati-matian ngerjainnya. Memproyeksikan berbagai bentuk bidang, kayak arsitektur amatiran. Makanya Lupus nggak mau gambarnya basah.
"Halo, Pus, nggak pulang?" tiba-tiba si Boim hadir di depannya. Lupus menggeleng.
"Kenapa? Takut kehujanan? Hu... sama aer aja takut. Kalau mau jadi seorang yang penuh kharisma kayak saya ini, hal-hal sepele begini tak akan menjadi halangan. Apa kamu takut kalau kehujanan nanti rambut kamu jadi basah? Nggak bisa nge-duran-duran kayak gitu lagi? Itulah, kalau ketampanan yang kauperoleh bukan ketampanan alami kayak saya. Biar kebasahan, rambut kucluk begini, tetap aja kece. Iya nggak? Lihat, saya berani menentang badai sekalipun!" sahut Boim sambil dengan mantap berjalan ke arah hujan.
".:..Dan kau tau, Pus," tambah Boim lagi, "Boim sebagai playboy paling top sejagat tau betul bagaimana cara menarik perhatian cewek. kamu lihat Svida yang berteduh dekat warung nasi di sana itu? Nah, ini saat yang tepat untuk mengalahkan hatinya yang sekeras karang. Sebab sebenarnya di dalam tasku ada payung. Nah, kamu nggak nyangka, kan? Tapi, biarlah saya tidak pakai payung itu. Saya akan khusus membawakan untuk Svida. Dia pasti terharu sekali melihat pengorbanan saya. Basah-basahan demi membela dia supaya enggak kehujanan.
"Dan kamu tau, Pus," kali ini bicaranya jadi mendadak pelan, Sambil mendekatkan moncongnya ke telinga Lupus. Buset baunya!
Dipandangnya Lupus lekat-lekat. "Seorang cewek biasanya berprinsip lebih baik pacaran dengan cowok yang mencintainya, walau ia sendiri sebenarnya tidak mencintai cowok itu. Dan cowok, lebih baik mencintai cewek yang ia cintai, kalau cewek itu tidak mencintainya. Nah, prinsip itu yang saya terapkan saat ini. Sebagai konsep ke-playboy-an saya. That's true. That's love! Kamu setuju pada pendapat itu?"
"Setuju," sahut Lupus mantap. "Saya juga lebih baik pacaran dengan cewek yang saya cintai, walau cewek itu mencintai saya mati-matian!"
Boim manggut-manggut. Lalu dengan langkah bak panglima perang, dia berjalan menerjang hujan, menuju sang ratu Svida berteduh. Meninggalkan Lupus yang bersandar sendirian lagi. Dan dia sempat menangkap bayangan yang menatapnya lewat balik kaca Corona biru tua yang perlahan lewat di depannya. Poppi. Lupus segera tersenyum lucu. Tapi eks ceweknya itu segera membuang muka. Ya, nasib! Lupus pun langsung membuang pandangan pada anak-anak kecil yang asyik bermain bola di lapangan becek di luar pekarangan sekolah.
Sementara hujan kian deras.
"Hai, Lupus! Tak adakah keinginan di hatimu untuk meninggalkan tempat yang menjemukan ini?" tiba-tiba terdengar suara cempreng dari sampingnya. Lupus kaget setengah mati. Tapi tanpa menoleh pun, dia tau siapa kali ini yang datang. Siapa lagi kalau bukan Gusur, seniman kesasar anak bahasa itu ? Yang kalo ngomong selalu sok nyastra. Biar dikata kayak Rendra. Ya, dia memang rendramania sekali. Ke mana-mana selalu bawa tas koper yang isinya penuh puisi-puisi ciptaannya yang katanya akan laku dipublikasikan sekian abad kemudian. "Soalnya puisi-puisi saya adalah puisi yang jauh melangkah ke depan. Yang baru bisa dinikmati oleh orang-orang masa depan," kilahnya suatu ketika, tetap membawa koper.
Teman-temannya banyak yang bilang dia itu seniman gagal. Tapi nggak juga tuh. Dia ternyata cukup sukses juga. Buktinya setiap ada perayaan hari besar, dia selalu dipanggil tampil ke depan untuk membacakan puisi karyanya. Kalau sudah begitu, kardus-kardus bekas teh botol dan pembungkus makanan pada berseliweran di udara. Menyemarakkan suasana. Tinggal Gusurnya yang sibuk tunggang-langgang ke balik panggung. Berlagak mau ke wc.
Yang lucu lagi, dia tuh orangnya suka sok akrab. Kalau lagi jalan (biasanya suka terbungkuk-bungkuk dan terbatuk-batuk), dia dengan sok akrabnya menyapa setiap orang yang dia jumpai. Menurutnya, setiap orang yang dijumpai adalah para penggemarnya. Perutnya juga rada gendut (katanya biar lebih mirip Rendra), kadang menyebabkan ritsluiting celananya sulit tertutup rapi. Sehingga nggak jarang udelnya piknik ke mana-mana.
Di rumahnya dia juga jarang pake baju. Sering ber-tarsan-ria. 'Biar dibilang seksi, ya? Dan kini, makhluk ajaib ini sudah berada di sampingnya.
"Hayolah, Pus, berlalu. Kupikir badai prahara ini kan lama menyelimuti!" bujuknya lagi. Tapi Lupus diam saja. Cuwek malah. Dan Gusur makin gigih.
"Lihatlah halimun hitam di sana," katanya lagi dengan gaya bak Gatotkaca hendak terbang. "Ia akan datang lagi dengan selaksa ancamannya!"
Lupus makin cuwek. Dia berlagak buang muka. Berlagak asyik memandangi anak-anak yang bermain bola. Tapi matanya tetap mengerling. Dan seniman ini terus ngocol. Tetap nyastra. "Wahai, Lupus, ketahuilah, jarum-jarum hujan yang jatuh adalah irama alam semesta. Ia mengajakmu berdansa." (Waktu ngomong begini, si Gusur turun berputar-putar seperti orang balet. Bisa dibayangin sendiri deh, gimana orang yang bulat begitu ber-balet-ria. Lupus setengah mati menahan senyum. "Maka, mari kita berlalu. Basah tak jadi apa. Daripada di sini sendiri disiksa berjuta derita. Dingin, resah, dan di dalam perutmu cacing-cacing protes menuntut haknya (lapar, maksudnya!)."
Lupus jadi mendelik sewot. Dikata cacingan apa?
Saat mendelik itu dia baru sadar bahwa makhluk yang membujuk Lupus untuk pulang aja meski hujan, nampak begitu aneh. Pakaiannya itu lho, lengkap banget. Jas anti aer, lengkap dengan payung kecil yang sekaligus topi. Itu lho, yang biasa dipakai pedagang kaki lima kalau lagi kepanasan. Yang ada head-bandnya ala Bjorn Borg dan dipakai di kepala. (Tau, kan? Kalau nggak tau berarti kamu lebih norak dari si Gusur.)
Udah gitu, payungnya warna full-color lagi. Merah, kuning, ijo, biru, pink. Warna-warna yang menyolok.
Wah, kentara sekali noraknya. Wong sekolah kok sempat-sempatnya bawa payung kayak gitu., Biar top kali! Tapi barangkali aja sebagai seniman, dia punya indra keenam. Punya inner feeling. Lha buktinya, kok tau-taunya sih bakal turun hujan. Pake siap bawa payung topi segala ke sekolah.
Selanjutnya, karena bujukannya terhadap Lupus nggak digubris sedikit pun, lama-lama dia sebel sendiri. Dengan judes, dia membuang muka, menghindar delikan sewot dari Lupus. Lalu akhirnya pulang sendirian. Wah, lagaknya. Pake ngingsot segala. Padahal di depan banjir sudah mulai meninggi. Semata kaki. Tapi sebelum makhluk itu berlalu, sempet juga ia berkicau. Masih tetap nyastra. "Tak kumengerti, apa yang membuatmu terpaku di situ. Atau kau takut? Ketahuilah, ketakutan adalah belenggu diri yang menyesatkan. Karena itu, Pus, bukan salahku andai dikau kutinggalkan. Kita berdiri di dunia kita masing-masing. Kau pengecut, aku berani. Selamat tinggal, Lupus, hujan telah memanggilku dengan iramanya yang sangat merdu. O, rinai hujan, 'ku rindu lumat dalam dekapmu!" ujarnya.
Kemudian dia sendiri semakin jauh. Berjalan tanpa kerepotan meski kostum yang dikenakan nampak complicated sekali. Tingkahnya seperti biasa. Terbungkuk-bungkuk. Sementara bibirnya tetap monyong. Habis sial-siul terus sih.
Kini Lupus sendiri lagi. Makin segen pulang walau hujan mulai sedikit mereda. Perutnya semakin melilit dengan dingin yang menggigit.
"Hai, Lupus, belum pulang?" Kali ini ada suara lembut menyapa. Lupus menoleh. N ah, ini! Ini baru teman yang menyenangkan, batin Lupus ketika melihat Anggi yang datang.
"Belum, Gi. Abis hujan terus. Kamu dari mana?"
"Dari kantin. Tapi di sana berisik banget. Nggak betah. Mendingan pulang aja. Tapi masih hujan, ya? Padahal nanti so're saya mau latihan gitar!"
Beberapa saat kemudian, mereka pun terlibat pada percakapan yang mengasyikkan. Sambil menanti hujan reda. Deket cewek cakep begini, laparnya jadi hilang.
Tiba-tiba sebuah charade putih berhenti tepat di depan mereka berdua. Dari balik jendela, muncul wajah Tejo, anak kelas tiga. Dia tersenyum manis kepada Anggi.
"Mau pulang? Ayo saya anterin. Daripada kedinginan di situ."
Anggi kelihatan ragu. Dia menatap Lupus, seperti minta pertimbangan.
"Ayo, tunggu apa lagi? Mau tunggu hujan berhenti? Wah, sampe besok subuh juga nggak bakalan berhenti-berhenti."
Lupus berbisik pelan, "Jangan mau ikut anak kelas tiga itu, Gi. Nanti kamu diculik, lho!"
Tapi Tejo terus memaksa. Akhirnya Anggi nurut. "Tapi ajak teman saya ini juga, ya?" pinta Anggi. Tejo melirik dikit pada Lupus. Lirikan tak bersahabat. "Ya, bolehlah.... Dia turun di mana?"
"Eh...enggak usah. Makasih aja deh. Saya bisa pulang sendiri, kok!" sahin Lupus cepat-cepat.
Anggi pun naik, setelah ber-auld Lang syne sama Lupus. Sedang Tejo tak mengatakan apa-apa. Langsung duduk di charade-nya dan tancap gas. Meninggalkan cipratan air di muka Lupus.
"Dodol!!!" teriak Lupus keki. Udah nyulik teman dengan paksa, nggak tau diri, lagi!
***
Hati Lupus masih dongkol ketika bis Grogol yang ditumpanginya berjalan perlahan, karena jalanan di situ banjir. Lalu lintas macet total. Mobil-mobil yang nggak waterproof udah mogok berat. Walhasil para pengendaranya terpaksa kemping di jalanan. Nggak bisa pulang. Lupus rada bersyukur juga karena bis yang ditumpanginya masih bisa jalan terus, meski pelan banget.
Lupus memandang ke luar. Tiba-tiba dia melihat charade putihnya Tejo sedang terbenam air. Tak bisa bergerak sedikit pun. Di dalamnya, Tejo lagi sibuk ngerayu Anggi yang ngambek, karena pulangnya malah jadi terlambat. Anggi dengan kesal turun, dan berlari ke arah bis yang ditumpangi Lupus. Meninggalkan Tejo yang masih kebingungan dengan mobilnya.
Lupus jadi ngakak. Apalagi ketika melihat sepatu dan baju Anggi jadi basah kuyup ketika naik ke bis Lupus. Sebab hujan yang tadi agak reda, kini turun lagi.
"Wah, kamu kok basah-basahan begini, Gi? Nanti sakit, lho!" goda Lupus ketika Anggi berdiri di dekatnya.
"Jangan ngeledek!" Anggi cemberut.
Sementara di luar hujan masih turun. Dan di tengah jalan: Lupus sempat melihat Gusur, si seniman itu, basah kuyup karena kejebur got. Lha iya, abis kalo banjir got-gotnya kan jadi nggak kelihatan. Dan kamu tau, seniman ini memang paling grasa-grusu kalo jalan. Pokoknya asal tancap gas aja. Dan akhirnya ia dimakan keyakinannya sendiri.
Lupus nggak bisa menahan ketawa lagi. Dia ngakak keras sekali. Sampai orang-orang sebis memandang curiga padanya. Tapi Lupus tak peduli

Rabu, 24 Juli 2013

baca cerita lupus cinta olimpiade


LUPUS-CINTA OLIMPIADE

LULU ge-er. Malam minggu kemarin dia maksa
ikut Lupus pergi.

“Bawalah daku pergi, Pus. Ke mana aja...”
rujuknya. Gombal sekali. Lupus jelas jadi rada
bingung. Wong mau ngapel kok malah disuruh
bawa adik?

“Kamu ngapain ikut? Pingin tau orang pacaran ya?”

Lulu tak menjawab. Tetap aja maksa ingin ikut.
“Pokoknya saya harus keluar rumah!”

Gila, anak ini memang keras kepala. Segala 
keinginannya harus dituruti. Tapi keinginan untuk 
keluar malam bukan hal yang biasa direwelinnya. 
Tiap malam minggu, dia jarang terlihat keluar 
rumah. Malah mendekam di kamar sambil asyik 
dengan boneka-bonekanya. Tak pernah mau kalau diajak teman-temannya kelayapan. Apalagi ke diskotek. Padahal remaja seusia dia, sudah termasuk wajar kalau mulai suka gila-gilaan di luar rumah. 

Jadi kali ini pasti ada apa-apanya. 

“Iya, ya? Ada apa-apanya, ya? Ayo, terus terang 
aja. Apa kamu udah kepingin pacaran? Udah 
kepingin belajar keluar malam? Hati-hati lho, 
nanti masuk angin. Kasihan ibu kalau besoknya 
disuruh ngeroki kamu?” ledek Lupus. 

Lulu tetap diam. Kali ini dia malah maksa ibunya. 
“Ayo dong, bu, sekali-sekali kita pergi. makan-
makan kek, ke diskotek kek...” 

Ibunya melotot. Wong sudah tua kok diajak ke diskotek? 

“Nggak apa-apa, bu. Sekalian nyari jodoh. Siapa tau aja ibu masih laku.” 

“Hus! Tapi ibu memang mau pergi, dan kamu nggak bakalan mau ikut. Itu lho, tante Neli kan lagi di Jakarta. Dia menginap di rumah Oom Prap. Ibu mau ke sana. Gimana, mau ikut?” 

“Ikut!” jawab Lulu mantap. Lupus mendadak mengorek-ngorek kupingnya. Apa nggak salah denger nih? Kok Lulu mau-mauan ketemu Tante Neli yang cerewet banget itu? Ini sudah jelas. Pasti ada yang kurang beres. 

Belakangan baru terbongkar. Ternyata dia lagi dikejar-kejar cowok. Dan cowok itu sudah janji mau datang malam minggu ini, meski Lulu sudah menolak keras. Dan itulah, akhirnya Lulu terpaksa harus melarikan diri. Tetapi setelah puas dalam pelariannya, dan kembali malam harinya, ternyata 
tak seorang pun yang datang. Sang pembantu yang mengatakan hal ini. Kontan aja Lupus ngakak. “Hulu...., ge-er. Makanya jangan girang dulu!” 

“Sial, siapa yang girang?” maki Lulu garang 

“Ayo, sudah malam. Jangan berantem lagi,” seru ibunya dari ruang tengah. 

*** 

Dan ternyata besok Minggunya pagi-pagi sekali saat kokok ayam jago belum lagi reda, cowok yang mengejar-ngejar Lulu itu datang. Lulu tak bisa menghindar, karena saat itu dia lagi asyik nyiram bunga di taman depan rumah. 

“Maaf, dik Lulu, tadi malam saya nggak bisa datang,” sapa cowok itu sopan sekali. Lulu tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Diam terpaku di tempat. Lupus yang mengintip dari jendela tidak bisa menahan tawa. “ Cieee...., mesra ni yeee...!” teriaknya keras. 

Lulu kaget dan menoleh dengan sengit. Cowoknya juga. Bujubune, pantesan aja Lulu begitu menghindarinya. Ternyata cowok yang ngejar-ngejar itu tipe cowok zaman rikiplik. Kadaluwarsa. Berkacamata tebal, bibir tebal, muka tebal (maksudnya nggak kenal malu, gitu!), sisiran rapi mengkilap. Pokoknya cocok jadi bapak idela. 

“Hei, Lulu, kok temennya diangguri aja? Ajak masuk dong!” teriak Lupus lagi. Sekali lagi Lulu mendelik sewot. Dan ketika cowok itu lewat dekat jendela kamar Lupus, dia memberi salam dan 
mengangguk hormant. Lupus jadi nyengir, kayak kuda. 

Tapi tipe cowok itu memang tipe cowok nekat. Dia dengan rela duduk sopan menunggu berjam-jam saat Lulu lagi ngambek, nggak mau keluar atau berlagak lagi pergi. Lulu sering memaksa Lupus untuk menemui atau menemani cowok itu kalau dia datang. Seperti malam minggu depannya ketika makhluk itu muncul lagi. 

“Pus, sana gih temenin si Pinokio itu. Saya males, ngomongnya kayak bapak-bapak. Tentang masa depan melulu. Ih sebel! Sana cepetan. Atau bilangin saya lagi sakit perut...!” 

“Wah sori, lu. Saya lagi sibuk!” sahut Lupus yang lagi asyik jaipongan gila-gilaan diiringi lagi  Zoolook-nya Jean Michel Jarre di kamarnya. 

Lulu makin empet. 

Dan cowok itu makin nekat. Kini datangnya suka bawa buah-buahan. Pisang, jeruk, apel, anggur. Wah, pokoknya segala macam deh. Lupus yang doyan makan itu, jelas keenakan. Dia yang tukang ngabisin semuanya. Sedangkan Lulu tak menyentuh sedikit-dikit acan. 

“Idih, haram menikmati barang suapan!” maki Lulu ketus. 

Lupus acuh saja. Tetapi sebenarnya dia kasihan juga kalau adiknya jadi nggak tenang begitu. Serba ketakutan. Meski sebetulnya bukan pertama kali buat dia untuk kenal cowok secara dekat. Dulu Lulu pernah kelihatan akrab dengan cowok teman sekolahnya. Tampangnya..., ya lumayanlah daripada kejeduk tembok. Lulu juga kelihatannya ngasih respons yang baik untuk cowok itu. Tapi kencan pertamanya berantakan gara-gara keisengan Lupus. Nggak tau apa karena Lupus keki sebab saat itu dia belum punya, atau memang lagi nakal-nakalnya (biasa, cowok!), yang jelas secara diam-diam dia meletakkan tip kecil miliknya di dekat kursi depan di mana mereka berdua nge-date. Secara otomatis, tip yang biasanya dipakai buat wawancara itu merekam semua percakapan Lulu dengan cowoknya. Dan bisa dibayangkan, betapa malunya Lulu ketika besok paginya Lupus memutar ulang hasil rekaman yang penuh rayuan-rayuan gombal itu di depan seluruh keluarga. Lulu ngamuk berat. Dia 
langsung mengacak-acak tempat tidur. Dan sejak saat itu tak pernah terdengar lagi kisah kasih tentang Lulu dengan cowok manapun. Sampai kejadian sekarang ini. 

Makanya Lupus kasihan. Sebetulnya dia benar-benar nggak mau memperalat adiknya untuk 
menikmati hasil-hasil suapan itu. Dia hanya berprinsip seperti dulu : nggak mau ngecewain orang yang ngasih makanan. Tapi kalau ada maksud-maksud dibalik itu semua ya entar dulu.Bagaimanapun mengkomersilkan adik sendiri adalah perbuatan yang kurang baik. Oleh karena itu, pada suatu pagi, saat mereka berdua selalu bersama-sama berjalan ke tempat pemberhentian bis yang jauh, saat udara masih begitu bersih dan segar, saat bulan masih tersisa di barat (wi, puitis ni yel...), Lupus menawarkan jasanya untuk bicara dari hati ke hati dengan cowok nekat itu. Sebagai sesama remaja, sesama cowok. Asal saja Lulu punya alasan yang tepat untuk menolak cintanya. 

“Bilang aja saya masih ingin belajar. Masih nggak mau terganggu oleh hal-hal seperti itu dan 
selebihnya bisa kamu karang sendiri. Kan kamu bisaan kalo bohong!” sahut Lulu. 

“Sialan! Tapi kamu memang serius masih mau konsentrasi ke pelajaran kan?” 

“Iya dong! Kan sebentar lagi saya ujian esempe.” 

Dan sorenya Lupus langsung ke rumah cowok itu. Datang dengan sopan dan penuh kekeluargaan. 
Sehingga cowok itu pun bisa mengerti. Jawabannya pun terdengar sopan sekali, “Saya mengerti. Okehlah kalau memang belum saatnya bagi dia, saya akan menunggu. Sampai kapan pun. 
Sampai dia merasa siap. Sampai dia menyadari betapa saya sangat mencintainya. Kamu tau, 
biasanya cowok sekarang itu pandai mengobral cinta, sehingga membuat derita pada sang cewek. 
Tapi saya tidak. Cinta saya pada Lulu adalah ibarat api olimpiade yang tak kunjung padam...!” 

Lupus hanya manggut-manggut. Bukannya ngerti, tapi ngantuk diceramahi begitu. Tapi dia toh 
senang, berarti masalahnya telah beres. Dan Lulu pun senang mendengar usahanya berhasil. Sebab 
sejak saat itu si pinokio itu tak pernah datang lagi. 

*** 

Tapi Lulu tetaplah Lulu. Makhluk aneh yang Lupus pun tak bisa mengerti keinginannya. Sejak 
kejadian itu, dia sering melamun. Bengong sendirian di depan rumahnya. Lupus jadi curiga, 
apa adiknya telah kena pelet. Satu dua kali Lupus tanyai, adiknya nggak mau ngaku, tapi akhirnya 
dia buka mulut juga. 

“Aneh, saya kok jadi mikirin si Pinokio itu. Saya kasihan. Dia telah begitu baik. Setelah ini berakhir 
saya baru mikir bahwa semua kata-katanya itu benar. Kata-kata yang selalu dia ucapkan kala dia 
datang kemari. Dia begitu penuh perhatian. Kamu tau. Pus, kalau saya butuh sesuatu, dak tak sengaja 
saya ucapkan di depan dia, besoknya dia sati membawa barang yang saya butuhkan. Buku  pelajaran, rapido, cat air... dan saya jadi mersa hutang budi. Merasa dosa telah mengecewakan dia. Saya kasihan. Saya kok jahat, ya? Padahal bisa saja saya belajar mencintainya.” 

Lupus tertegun. 

“Enggak, Lu. Kamu salah kalau kamu memulai mencintai seseorang dari rasa kasihan. Kamu akan 
menyesal. Percaya deh. Oke, untuk beberapa saat kamu bisa mencintainya. Tapi selanjutnya kamu 
akan merasa terjebak. Ingin melepaskan diri tapi nggak bisa. Kamu masih terlalu kecil, Lu, untuk 
serius pacaran seperti itu. Kamu masih butuh banyak mencoba. Seseorang itu untuk memilih pilihan yang tepat, butuh menjajaki beberapa calon. Kita kan tak mungkin bisa menilai satu yang terbaik tanpa membandingkannya dengan yang lain. Makannya, Lu, kamu nggak salah. Teruskan aja menuruti apa kata hatimu. Dengan begitu kamu kan akan matang sendiri.” 

“Kamu emang pinter berkicau, Pus!” ledek Lulu gembira. 

*** 

Lupus terbangun ketika matahari sudah mulai tinggi. Dia kaget dan langsung menyambar handuk untuk cepat-cepat mandi. Mandinya juga ala koboi. Asal cibang-cibung. Tapi ini mendingan, dia pernah saking nggak sabarannya, langsung jebur ke bak mandi. 

Setelah berpakaian seadanya, dia duduk di meja makan untuk menghabiskan roti dan susunya. Saat 
itu Lulu sudah siap pamit. Lupus memaki, “kamu kok jahat gitu, Lu. Nggak bangunin saya. Kenapa 
sih?” 

Lulu cuwek. Setelah cium tangan sama ibunya dia ngeloyor ke depan. 

“Eeeee... tungguin dong. Saya hampir kelar nih!” teriak Lupus sambil meneguk susunya. Mulutnya 
sampai belepotan. Tapi Lulu tetap ninggalin. Dan ketika Lupus menyusul ke depan, dia tertegun. Di 
situ Lulu sudah siap duduk di boncengan motor seorang cowok kece. Masih muda. Dan cowok itu 
mengangguk pada Lupus sebelum pergi. Lupus terbengong-bengong di pinggir jalan. Pantesan aja 
Lulu ninggalin. Dan dia pun dengan lesu menelusuri jalan. All alone. Tanpa seorang teman. 

Di tikungan jalan, dia bertemu dengan seorang cewek yang asyik sendirian dengan motor bebeknya. Lupus pun dengan semangat menyetopnya. 

“Eh, ikutan dong sampai ke depan!” sahut Lupus. 




“Enak aja. Lu pikir gue tukang ojek!” maki cewek itu dan langsung tancap gas. Meninggalkan Lupus 
yang memaki-maki tak keruan. 
 *****