X-Steel Pointer

Rabu, 24 Juli 2013

baca cerita lupus cinta olimpiade


LUPUS-CINTA OLIMPIADE

LULU ge-er. Malam minggu kemarin dia maksa
ikut Lupus pergi.

“Bawalah daku pergi, Pus. Ke mana aja...”
rujuknya. Gombal sekali. Lupus jelas jadi rada
bingung. Wong mau ngapel kok malah disuruh
bawa adik?

“Kamu ngapain ikut? Pingin tau orang pacaran ya?”

Lulu tak menjawab. Tetap aja maksa ingin ikut.
“Pokoknya saya harus keluar rumah!”

Gila, anak ini memang keras kepala. Segala 
keinginannya harus dituruti. Tapi keinginan untuk 
keluar malam bukan hal yang biasa direwelinnya. 
Tiap malam minggu, dia jarang terlihat keluar 
rumah. Malah mendekam di kamar sambil asyik 
dengan boneka-bonekanya. Tak pernah mau kalau diajak teman-temannya kelayapan. Apalagi ke diskotek. Padahal remaja seusia dia, sudah termasuk wajar kalau mulai suka gila-gilaan di luar rumah. 

Jadi kali ini pasti ada apa-apanya. 

“Iya, ya? Ada apa-apanya, ya? Ayo, terus terang 
aja. Apa kamu udah kepingin pacaran? Udah 
kepingin belajar keluar malam? Hati-hati lho, 
nanti masuk angin. Kasihan ibu kalau besoknya 
disuruh ngeroki kamu?” ledek Lupus. 

Lulu tetap diam. Kali ini dia malah maksa ibunya. 
“Ayo dong, bu, sekali-sekali kita pergi. makan-
makan kek, ke diskotek kek...” 

Ibunya melotot. Wong sudah tua kok diajak ke diskotek? 

“Nggak apa-apa, bu. Sekalian nyari jodoh. Siapa tau aja ibu masih laku.” 

“Hus! Tapi ibu memang mau pergi, dan kamu nggak bakalan mau ikut. Itu lho, tante Neli kan lagi di Jakarta. Dia menginap di rumah Oom Prap. Ibu mau ke sana. Gimana, mau ikut?” 

“Ikut!” jawab Lulu mantap. Lupus mendadak mengorek-ngorek kupingnya. Apa nggak salah denger nih? Kok Lulu mau-mauan ketemu Tante Neli yang cerewet banget itu? Ini sudah jelas. Pasti ada yang kurang beres. 

Belakangan baru terbongkar. Ternyata dia lagi dikejar-kejar cowok. Dan cowok itu sudah janji mau datang malam minggu ini, meski Lulu sudah menolak keras. Dan itulah, akhirnya Lulu terpaksa harus melarikan diri. Tetapi setelah puas dalam pelariannya, dan kembali malam harinya, ternyata 
tak seorang pun yang datang. Sang pembantu yang mengatakan hal ini. Kontan aja Lupus ngakak. “Hulu...., ge-er. Makanya jangan girang dulu!” 

“Sial, siapa yang girang?” maki Lulu garang 

“Ayo, sudah malam. Jangan berantem lagi,” seru ibunya dari ruang tengah. 

*** 

Dan ternyata besok Minggunya pagi-pagi sekali saat kokok ayam jago belum lagi reda, cowok yang mengejar-ngejar Lulu itu datang. Lulu tak bisa menghindar, karena saat itu dia lagi asyik nyiram bunga di taman depan rumah. 

“Maaf, dik Lulu, tadi malam saya nggak bisa datang,” sapa cowok itu sopan sekali. Lulu tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Diam terpaku di tempat. Lupus yang mengintip dari jendela tidak bisa menahan tawa. “ Cieee...., mesra ni yeee...!” teriaknya keras. 

Lulu kaget dan menoleh dengan sengit. Cowoknya juga. Bujubune, pantesan aja Lulu begitu menghindarinya. Ternyata cowok yang ngejar-ngejar itu tipe cowok zaman rikiplik. Kadaluwarsa. Berkacamata tebal, bibir tebal, muka tebal (maksudnya nggak kenal malu, gitu!), sisiran rapi mengkilap. Pokoknya cocok jadi bapak idela. 

“Hei, Lulu, kok temennya diangguri aja? Ajak masuk dong!” teriak Lupus lagi. Sekali lagi Lulu mendelik sewot. Dan ketika cowok itu lewat dekat jendela kamar Lupus, dia memberi salam dan 
mengangguk hormant. Lupus jadi nyengir, kayak kuda. 

Tapi tipe cowok itu memang tipe cowok nekat. Dia dengan rela duduk sopan menunggu berjam-jam saat Lulu lagi ngambek, nggak mau keluar atau berlagak lagi pergi. Lulu sering memaksa Lupus untuk menemui atau menemani cowok itu kalau dia datang. Seperti malam minggu depannya ketika makhluk itu muncul lagi. 

“Pus, sana gih temenin si Pinokio itu. Saya males, ngomongnya kayak bapak-bapak. Tentang masa depan melulu. Ih sebel! Sana cepetan. Atau bilangin saya lagi sakit perut...!” 

“Wah sori, lu. Saya lagi sibuk!” sahut Lupus yang lagi asyik jaipongan gila-gilaan diiringi lagi  Zoolook-nya Jean Michel Jarre di kamarnya. 

Lulu makin empet. 

Dan cowok itu makin nekat. Kini datangnya suka bawa buah-buahan. Pisang, jeruk, apel, anggur. Wah, pokoknya segala macam deh. Lupus yang doyan makan itu, jelas keenakan. Dia yang tukang ngabisin semuanya. Sedangkan Lulu tak menyentuh sedikit-dikit acan. 

“Idih, haram menikmati barang suapan!” maki Lulu ketus. 

Lupus acuh saja. Tetapi sebenarnya dia kasihan juga kalau adiknya jadi nggak tenang begitu. Serba ketakutan. Meski sebetulnya bukan pertama kali buat dia untuk kenal cowok secara dekat. Dulu Lulu pernah kelihatan akrab dengan cowok teman sekolahnya. Tampangnya..., ya lumayanlah daripada kejeduk tembok. Lulu juga kelihatannya ngasih respons yang baik untuk cowok itu. Tapi kencan pertamanya berantakan gara-gara keisengan Lupus. Nggak tau apa karena Lupus keki sebab saat itu dia belum punya, atau memang lagi nakal-nakalnya (biasa, cowok!), yang jelas secara diam-diam dia meletakkan tip kecil miliknya di dekat kursi depan di mana mereka berdua nge-date. Secara otomatis, tip yang biasanya dipakai buat wawancara itu merekam semua percakapan Lulu dengan cowoknya. Dan bisa dibayangkan, betapa malunya Lulu ketika besok paginya Lupus memutar ulang hasil rekaman yang penuh rayuan-rayuan gombal itu di depan seluruh keluarga. Lulu ngamuk berat. Dia 
langsung mengacak-acak tempat tidur. Dan sejak saat itu tak pernah terdengar lagi kisah kasih tentang Lulu dengan cowok manapun. Sampai kejadian sekarang ini. 

Makanya Lupus kasihan. Sebetulnya dia benar-benar nggak mau memperalat adiknya untuk 
menikmati hasil-hasil suapan itu. Dia hanya berprinsip seperti dulu : nggak mau ngecewain orang yang ngasih makanan. Tapi kalau ada maksud-maksud dibalik itu semua ya entar dulu.Bagaimanapun mengkomersilkan adik sendiri adalah perbuatan yang kurang baik. Oleh karena itu, pada suatu pagi, saat mereka berdua selalu bersama-sama berjalan ke tempat pemberhentian bis yang jauh, saat udara masih begitu bersih dan segar, saat bulan masih tersisa di barat (wi, puitis ni yel...), Lupus menawarkan jasanya untuk bicara dari hati ke hati dengan cowok nekat itu. Sebagai sesama remaja, sesama cowok. Asal saja Lulu punya alasan yang tepat untuk menolak cintanya. 

“Bilang aja saya masih ingin belajar. Masih nggak mau terganggu oleh hal-hal seperti itu dan 
selebihnya bisa kamu karang sendiri. Kan kamu bisaan kalo bohong!” sahut Lulu. 

“Sialan! Tapi kamu memang serius masih mau konsentrasi ke pelajaran kan?” 

“Iya dong! Kan sebentar lagi saya ujian esempe.” 

Dan sorenya Lupus langsung ke rumah cowok itu. Datang dengan sopan dan penuh kekeluargaan. 
Sehingga cowok itu pun bisa mengerti. Jawabannya pun terdengar sopan sekali, “Saya mengerti. Okehlah kalau memang belum saatnya bagi dia, saya akan menunggu. Sampai kapan pun. 
Sampai dia merasa siap. Sampai dia menyadari betapa saya sangat mencintainya. Kamu tau, 
biasanya cowok sekarang itu pandai mengobral cinta, sehingga membuat derita pada sang cewek. 
Tapi saya tidak. Cinta saya pada Lulu adalah ibarat api olimpiade yang tak kunjung padam...!” 

Lupus hanya manggut-manggut. Bukannya ngerti, tapi ngantuk diceramahi begitu. Tapi dia toh 
senang, berarti masalahnya telah beres. Dan Lulu pun senang mendengar usahanya berhasil. Sebab 
sejak saat itu si pinokio itu tak pernah datang lagi. 

*** 

Tapi Lulu tetaplah Lulu. Makhluk aneh yang Lupus pun tak bisa mengerti keinginannya. Sejak 
kejadian itu, dia sering melamun. Bengong sendirian di depan rumahnya. Lupus jadi curiga, 
apa adiknya telah kena pelet. Satu dua kali Lupus tanyai, adiknya nggak mau ngaku, tapi akhirnya 
dia buka mulut juga. 

“Aneh, saya kok jadi mikirin si Pinokio itu. Saya kasihan. Dia telah begitu baik. Setelah ini berakhir 
saya baru mikir bahwa semua kata-katanya itu benar. Kata-kata yang selalu dia ucapkan kala dia 
datang kemari. Dia begitu penuh perhatian. Kamu tau. Pus, kalau saya butuh sesuatu, dak tak sengaja 
saya ucapkan di depan dia, besoknya dia sati membawa barang yang saya butuhkan. Buku  pelajaran, rapido, cat air... dan saya jadi mersa hutang budi. Merasa dosa telah mengecewakan dia. Saya kasihan. Saya kok jahat, ya? Padahal bisa saja saya belajar mencintainya.” 

Lupus tertegun. 

“Enggak, Lu. Kamu salah kalau kamu memulai mencintai seseorang dari rasa kasihan. Kamu akan 
menyesal. Percaya deh. Oke, untuk beberapa saat kamu bisa mencintainya. Tapi selanjutnya kamu 
akan merasa terjebak. Ingin melepaskan diri tapi nggak bisa. Kamu masih terlalu kecil, Lu, untuk 
serius pacaran seperti itu. Kamu masih butuh banyak mencoba. Seseorang itu untuk memilih pilihan yang tepat, butuh menjajaki beberapa calon. Kita kan tak mungkin bisa menilai satu yang terbaik tanpa membandingkannya dengan yang lain. Makannya, Lu, kamu nggak salah. Teruskan aja menuruti apa kata hatimu. Dengan begitu kamu kan akan matang sendiri.” 

“Kamu emang pinter berkicau, Pus!” ledek Lulu gembira. 

*** 

Lupus terbangun ketika matahari sudah mulai tinggi. Dia kaget dan langsung menyambar handuk untuk cepat-cepat mandi. Mandinya juga ala koboi. Asal cibang-cibung. Tapi ini mendingan, dia pernah saking nggak sabarannya, langsung jebur ke bak mandi. 

Setelah berpakaian seadanya, dia duduk di meja makan untuk menghabiskan roti dan susunya. Saat 
itu Lulu sudah siap pamit. Lupus memaki, “kamu kok jahat gitu, Lu. Nggak bangunin saya. Kenapa 
sih?” 

Lulu cuwek. Setelah cium tangan sama ibunya dia ngeloyor ke depan. 

“Eeeee... tungguin dong. Saya hampir kelar nih!” teriak Lupus sambil meneguk susunya. Mulutnya 
sampai belepotan. Tapi Lulu tetap ninggalin. Dan ketika Lupus menyusul ke depan, dia tertegun. Di 
situ Lulu sudah siap duduk di boncengan motor seorang cowok kece. Masih muda. Dan cowok itu 
mengangguk pada Lupus sebelum pergi. Lupus terbengong-bengong di pinggir jalan. Pantesan aja 
Lulu ninggalin. Dan dia pun dengan lesu menelusuri jalan. All alone. Tanpa seorang teman. 

Di tikungan jalan, dia bertemu dengan seorang cewek yang asyik sendirian dengan motor bebeknya. Lupus pun dengan semangat menyetopnya. 

“Eh, ikutan dong sampai ke depan!” sahut Lupus. 




“Enak aja. Lu pikir gue tukang ojek!” maki cewek itu dan langsung tancap gas. Meninggalkan Lupus 
yang memaki-maki tak keruan. 
 *****




2 komentar: