X-Steel Pointer

Jumat, 26 September 2014

baca lupus online

Playboy Duren Tiga




Tengah hari bolong. Anak-anak kelas I A2 sedang dilanda kantuk yang luar biasa. Siang-siang begini memang lebih enak tidur, ketimbang dengerin guru Bahasa Indonesia yang asyik dengan gaya bahasanya. Yang dengan genitnya mencontohkan, bagaimana seseorang bergaya bahasa itu.



Tetapi anak-anak tetap tak berminat.



Apalagi di deretan bangku belakang. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Cuma Boim yang tampak asyik main ramal-ramalan dengan Herumoko. Heru, yang bawaannya ngamuk melulu, membiarkan si Boim meramal setiap sidik jari dari telapak tangannya. Dia sendiri sudah dari setengah jam yang lalu terbang dengan mimpi indahnya.



Lupus, yang duduk di sebelah Boim, mendekat. Penasaran kepingin diramal juga. Lupus segera menyodorkan tangan kanannya. Boim meneliti. Berlagak mikir. Lalu dengan meyakinkan, dia bersabda, “Kamu panjang umur. Dan garis-garis keberuntunganmu juga not so bad. Bolehlah. Tapi ini, lho, garis yang paling atas .... “



“Kenapa garisnya?” Lupus penasaran.



“Tidak seperti saya punya. Arah dan garisnya jelas. Sedang kamu tidak .... “



“Saya kenapa?”



“Ini garis jodoh. Kalau saya ketauan, jodohnya jelas. Lihat aja sendiri. Dan bukti nyata kamu sudah tau, kan? Nah, kalau kamu... ah”



“Kenapa jodoh saya?”



“Berantakan .... “



“Sialan” Lupus menarik tangannya. Boim memang suka sok tau. Anak itu nama sebenarnya Imbauan. Baginya tak ada yang lebih berharga di dunia ini selain cewek dan cewek melulu. Dan ceritanya sudah setinggi langit kalau dia bisa jalan bareng dengan primadona-primadona SMA Merah Putih ini. Ge-er-an memang. Entah karena dia memproklamirkan dirinya sendiri atau ada beberapa temannya yang iseng, dia sering dijuluki playboy. Ganti-ganti pasangan terus. Tapi si Boim ini cuma playboy cap duren tiga. Mau nampang modalnya cuma geretan merek duren tiga. Rokok aja nebeng melulu. Kaus kakinya juga nggak pemah ganti. Habis pake langsung dijemur. Pernah sekali waktu sembahyang jumat di sekolah, dia membuka sepatu. Baunya, bujubune .... Membuyarkan konsentrasi sembahyang.



Dan seminggu sekali, setiap malam minggu, dia patah hati. Herannya dia nggak pernah kapok. Pernah sekali dia naksir si Elsa. Cewek jet-set yang cakepnya nggak ketulungan. Kontan saja cintanya ditolak. Berhari-hari dia langsung nggak nafsu makan. Semua unek-uneknya ditumpahkan kepada Lupus.



Dan nasihat Lupus cukup sederhana, “Sudahlah, Im, nggak usah frustasi. Ditolak kan belum tentu diterima .... “





•••





Akhirnya bel tanda sekolah usai berdentang. Anak-anak seperti tersengat. Semangat hidup yang hampir sirna tadi, kini kembali. Guru bahasa yang tadinya mau meneruskan beberapa bab yang tersisa (masih beberapa bab kok dibilang sisa?), tak bisa berbuat apa-apa ketika anak-anak serempak berteriak, “S’lamat siiiang. Bu Guruuuu...”





Itulah anak SMA. Masuk sekolah pagi-pagi cuma mau nungguin bel pulang di siang hari. Makanya Boim yang belagu itu pernah berfilsafat (dalam hal ini, dia jelas ingin menonjolkan kemampuannya berbahasa lnggris), ”You know, my friends, school is just a place to rest between week-ends” Dan dia dengan bangganya tidak mengetahui bahwa semua temannya pernah membaca kata-kata itu di toko baju.



“Hei, Kucing Kok bengong aja? Mau ikut pulang?” tiba-tiba suara cempreng menyapa Lupus yang lagi bengong di pintu gerbang. Lupus melotot dipanggil ’kucing’ begitu. Siapa lagi kalau bukan si Boim. Dia memang Iebih senang memanggil kucing daripada ‘Pus... Pus...’ begitu. Kan sama aja, katanya.



“Hayo, nungguin Poppi, ya? Saya dengar kamu ada main sama dia. Hu... kuno Poppi sih udah bekas saya. Udah abis deh saya kerjain,” sambung Boim lagi. Lupus hanya mendengus, lalu berjalan menelusuri trotoar.



“Ayolah, pulang saja. Kamu ke Grogol, kan? Ikut saya aja. Saya juga mau ke sono. Biasa, ada mangsa baru. Yuk?” Boim menarik Lupus untuk ikutan di motomya yang butut.



Tiba-tiba Poppi berlari mendekat. Lupus melepaskan cengkeraman tangan Boim. “Halo, Lupus. Sori, ya, kita nggak bisa pulang bareng. Saya dijemput sih. Mau langsung les .... “



Lupus mengangguk, lalu menoleh pada Boim.



“Saya ikut kamu” Boim ngakak.



Di perjalanan, Boim banyak cerita tentang pengalamannya. Lupus cuma jadi pendengar setia saja. Tanpa komentar apa-apa. Apanya yang mau dikomentarin kalau yang diceritakan cuma ’gombalan’ melulu? Sampai suatu ketika dia cerita soal Irma. Anak baru pindahan dari Semarang yang kece, tapi nggak memble.



”Saya heran, kok belakangan ini mimpi-mimpi saya selalu dihadiri oleh sosok tubuh mungilnya. Kenapa itu, ya?” ujar Boim belum puas nggombal.



“Irma yang mana sih? Saya kok nggak kenal?” tanya Lupus polos.



“Kamu dasar kuper. Irma itu, Iho, yang anak baru. Masa nggak tau? Dia kan pernah bikin cowok-cowok pada ngerebutin. Yang cakep kaya Yanti lssudibjo .... “ ujar Boim rada berapi-api.



“Yanti lssudibjo? Yang mana lagi, tuh? Anak baru juga?” Lupus makin bingung.



“Biang panu Yanti itu foto model dan penyanyi yang kondang. Nah, si Irma mukanya setipe dengan dia. Kamu tau Irma nggak sih?” Boim jadi ngotot.



“Oooo, yang menang kontes kebaya kemarin itu?”



“Betul Akhirnya terbuka juga matamu.” “



Lho, dia kan memang pernah nanyain kamu. Kapan, ya? Oya, kemarin”



“Hah? Bener nih?” Boim mendadak girang. “Tuuh, kan, apa saya bilang. Belakangan dia memang sering saya pergokin lagi mencuri pandang ke arah saya. Dia emang naksir saya. Saya merasakan hal itu kok. Oya, Lupus, dia tanya apa aja tentang saya? Tell me, my friend, is there something I should know?”



Lihat saja, kalau ada maunya dia baru manggil Lupus, bukan kucing.



“Katanya... bener nggak kamu yang waktu itu bawa motor bebek item ke sekolah .... “



“Hm, kapan, ya? Soalnya-terus terang-saya suka ganti-ganti kalo bawa motor. Tapi..., hm ya Saya inget. Sabtu kemarin saya memang bawa motor bebek item ke sekolah. Kok dia tau, ya?”



“ltulah, dia sangat memperhatikanmu. ..,” sahut Lupus geli.



“Iya, ya. Betul juga. Terus nanya apa lagi?”



“Dia tanya, kamu di rumahnya buka bengkel gitu?”



“Lho, kok dia tau? Memang sih—kakak saya memang buka bengkel di samping rumah. Tapi bengkel elite lho Kok dia tau sih? Kalo gitu dia sangat memperhatikan saya, ya? Aduh, Lupus, saya jadi utang budi nih sama kamu .... “



“Ah, biasa. Sama teman. Kalau gitu bener dong ya tebakan Irma...”



“Lho. Irma nebak apa? Kamu bilang saya playboy, ya? Wah, jangan gitu dong, Lup. Meskipun saya, yeah—sering ganti-ganti pasangan, saya kan bisa setia juga. Atau dia nebak motor saya suka ganti-ganti? Atau soal nama bekenku di sekolah? Ah, itu belum seberapa Iho, Pus. Kalau kamu ingin tau lebih dalam kamu bisa ke rumah saya. Saya akan senang menyambut tamu agung seperti kamu. Oya, Irma nebak apaan sih?” cerocos Boim kaya petasan.



“Enggak apa-apa. Soalnya honda bebek item yang kamu bawa tempo hari itu punya dia, yang emang lagi dibetulin di bengkel. Mungkin di bengkel kakak kamu, ya?”



Saat itu juga, Lupus diturunkan secara tak hormat di pinggir jalan.

baca lupus online

 Prestise jazz




Sudah tau, kan, kalau Lupus itu di samping anak kelas I SMA Merah Putih, juga jadi wartawan freelance majalah remaja Hai? Nah, itulah, makanva sekarang ini dia lagi suntuk banget ngedengerin suguhan musik jazz Open Air untuk remaja. Mana duduknya pas dekat loud-speaker berkekuatan tinggi. Suara-suara cempreng yang keluar dari situ Iangsung masuk telinga Lupus tanpa difilter Iebih dahulu.



Lupus berada di antara para remaja yang kebanyakan SMA tanpa bisa keluar dari situ. Dan pada saat begini, dia benar·benar keder dengan profesi wartawan yang disandangnya. Karena dari tempatnya duduk, dia tak bisa Ieluasa bergerak mengambil gambar-gambar yang baik untuk pelengkap berita yang akan dia tulis. Dan rasanya rada sungkan juga untuk meminta jalan pada remaja-remaja di depannya, untuk kemudian mengambil posisi memotret di dekat panggung.



Masalahnya, tadi dia sempat keki ketika baru datang, dan hendak naik ke panggung untuk memotret close-up sang penyanyi, seorang petugas menghardiknya keras, “Hei, Anak kecil Ngapain naik-naik ke situ? Nakal, ya. Ayo turun”



Lupus keki banget dibilang anak kecil. Wah, tu orang nggak tau kalau saya wartawan gerutu lupus. Dan dia menjadi keki kuadrat ketika seorang pemuda yang mengenakan tanda pengenal panitia menyuruhnya menjauh dari tempat artis-artis jazz. Dikira mau minta tanda tangan apa?



Makanya, sekarang ini dia lebih suka duduk dengan manis di rumpul seperti remaja Iainnya. Tanpa bisa menikmati suguhan musik yang digelar. Dia merasa bodoh sekali. Wartawan kok gitu? Dan dia bingung. apa yang harus dia tulis dalam artikelnva nanti. Lupus semula agak menolak juga ketika Mas Wendo—sang pemred majalah Hai—menyuruhnya meliput berita jazz Open Air ini. Masalahnya dia nggak ngerti dan kurang suka jazz. Tapi daripada menolak, ya coba-coba aja. deh



Dan sekarang dia benar-benar suntuk. Bukannya nyesel nonton ginian, tapi nggak nyangka bakal ngerusak telinga begini. Tiba-tiba seorang cewek yang duduk di sebelah mengeluh. Saat itu musik Iagi break, jadi suasana kembali tenang. Banyak penonton lain yang duduk dekat loudspeaker seperti Lupus, bernapas lega sambil meyakinkan bahwa kupingnya belum budek.



“Aduh, saya pingin pipis. Gimana ya, cara keluar dari sini?” kata cewek itu. Lupus yang lagi asyik bengong nyeletuk, “Pipis di sini aja. Banyak rumput kok .... “



“Ogah ah. Takut nge-top” cewek itu nyengir.



“Takut nge-top apa takut dilihat saya?” tantang Lupus.



“Apa iya kamu mau Iihat? Kalau bener saya bela-belain nih” jawab cewek itu Iagi. Gantian Lupus yang nyengir.



Sementara cowok yang di sebelah Lupus ikutan ngomong juga,



”Eh, ngomong-ngomong dari tadi Iagu yang dimainin tuh ganti-ganti atau yang itu-itu terus?”



Lupus kaget juga ditanya begitu. Untung cowok itu nggak tau kalau Lupus itu wartawan musik.



“Nggak tau. Lho, kamu tadi sama temen-temen kamu pada goyang-goyang kepala. Dikirain tau Iagunya...?“ Lupus balik bertanya.



“Tau? Boro-boro, suka aja nggak”



”Ha? jadi ngapain dong kamu manggut-manggut kaya tadi begitu?”



“Ya... ikut-ikutan yang lain aja. Kita berani taruhan kalau mereka juga nggak ngerti musik apa yang dimainin barusan. Mereka cuma biar kelihatan aksi aja. Lucunya, ada yang sok bawa pacarnya ke sini. Bela-belain bayar uang masuk cuma supaya pacamya mengira dia punya selera musik yang tinggi. Tapi itu udah wajar kok. Maklum deh, namanya aja remaja .... “



“Iya, betul tuh. Saya juga nyadarin kok. Dateng ke sini cuma ikut-ikutan temen aja,” temen sebelahnya mendukung.



Lupus tambah mikir. Jadi, apa yang mereka cari dengan nonton beginian? Dikirain dia doang yang nggak ngerti musik yang disuguhin. Nggak taunya semua sama saja Pantesan tepuk tangan penonton seperti diatur. Kalau ada seorang yang tepuk tangan, yang Iainnya pada ikutan. Lucunya ada yang menoleh dulu ke teman sebelahnya, baru ikutan tepuk tangan.



“Kalau yang disuguhin jazz ringan kaya lagu-Iagunya Whitney Houston atau Michael Frank sih boleh-boleh aja. Saya suka. Tapi ini sih, yang main musik asyik sendiri. Dengan improvisasi-improvisasi. Sedang yang nonton malah komat-kamit berdoa supaya lagunva cepet habis. berharap supaya Iagu berikutnya Iebih enak didengar. Syukur-syukur kalau kenal lagunya. Jadi kayanya para pemusik itu bermain untuk dirinya sendiri .... “ cewek Iain ikut komentar.



Sementara musik kembali mengalun. Dan para penonton memulai lagi sandiwaranva. Manggut-manggut, dan menggoyangkan kakinya. Lupus jadi tertarik dengan pembicaraan remaja-remaja yang di sebelahnya tadi. Mereka seperti mewakili seluruh remaja yang berjubel membanjiri pagelaran siang bolong itu. Lupus seperti menangkap sesuatu. Sesuatu yang bisa menjadi bahan tulisannya. Sesuatu yang mungkin tak terpikirkan Oleh wartawan lain. Mungkin hasilnya tak begitu Bagus, tetapi lupus akan mencoba.



Beberapa minggu kemudian, majalah-majalah ramai memberitakan pagelaran musik tersebut. Majalah hai juga memuat. Lupus yang menulis. Tapinya dia kini malah lagi asyik becanda dengan Mas Aries yang asyik melukis. Suasana di kantor redaksi Hai ini memang santai dan menyenangkan. Itulah sebabnya, kenapa Lupus betah di situ. Hampir saban pulang sekolah, kala teman-temannya pada main ding-dong di dekat pasar swalayan, Lupus Iari ke kantor Hai. Orang-orang yang kumpul di sini memang merupakan gabungan dari beberapa karakter yang unik. Ada yang doyan ngecap, ada yang doyan tidur di kolong meja, ada yang pendiam, ada yang hobinya godain cewek Iewat, ada yang doyan nyanyi, ketawa, ngeledek, tau yang kerjanya nggambar meIuIu. Seperti Aries ini. Ngakunya dari rumah mau kerja. Sudah dapet restu dari ibu-bapaknya. Ee, nggak taunya sampai di kantor kerjanva ngggambaaaar melulu. Ada juga Jipi—perjaka yang hobinva nempelin-nempelin dan gunting-guntingin kertas. Bakat ini memang kentara ketika dia duduk di TK. Nilai pelajaran seni melipat kertas-nya dapet angka delapan. Tapi yang kurang menguntungkan adalah kulitnya yang rada kelarn dibanding rekan-rekannya. Sampai pernah ada teka-teki yang paling nge-top di kantor ini dan hampir semua orang di situ bisa menjawabnya: ’Kenapa kaus kaki jipi berwarna coklat? jawabnya singkat: ‘Karena kelunturan kulit kakinya .... “



Tapi Jipi bukannya sakit hati, malah bangga.



“Hei, kok pada ketawa-ketawa? Ajak-ajak dong .... “ Mas Wendo tiba-tiba muncuI. Dia baru datang dari seminar. Nggak jelas seminar apa. Kayanya sih seminar tuyul.



“Lho, ini Iagi ngetawain kamu kok. Mas,” jawab Mas Aries cuwek.



Wendo, yang nggak siap bakalan langsung di-kick begitu, langsung ngajak Lupus ngomong. Ngobrol sama Lupus memang aman. Dia jarang nge-kick orang, kecuali kalo terpaksa.



“Hei, Lupus. Tulisan kamu tentang jazz kemarin itu bagus Iho Jauh berbeda dengan yang ditampilkan majalah-majalah Iain. Kamu tak bicara soal kaidah-kaidah musik jazz, kamu tak bicara soal teknik bermain mereka, soal struktur harmoni irama mereka, soaI apa yang mereka mainkan itu fusion, ragtime, blues, atau funky. Kamu meninggalkan itu semua. Tapi yang kamu ketengahkan benar-benar dari kaca mata remaja. Dan itu bagus. Itu yang membuat tulisanmu Iebih mudah dipahami. Tidak berkesan menggurui. Dan remaja seusia kamu memang Iebih suka baca artikel yang kamu tulis itu, tanpa bingung-bingung memikirkan istilah-istilah aneh vang diketengahkan oleh kebanyakan media. Kamu bisa merasakan emosi yang begitu karena kamu terjun Iangsung sebagai remaja. Remaja yang mengamati musik jazz. Teruskan, Lupus .... “



Lupus kaget juga. Nggak nyangka bakal dipuji begitu banyak. Karena dia tau, Mas Wendo jarang memuji orang. jadi kalau dia memuji berarti dia memang benar-benar menyukainya.



Kamu mungkin heran, ya, apa yang ditulis Lupus dalam artikelnya. Singkat saja. Dia cuma merangkum pendapatnya dan pendapat remaja-remaia yang ikutan nonton waktu itu. Dia tidak mengritik musik yang ditampilkan, tapi justru mencela panitia yang terlalu memaksakan remaja-remaja untuk menyukai musik yang bukan gejolak jiwa mereka. Dan anehnya, kok para remaja yang dicekoki ya mau saja. Itu yang ditulis Lupus. Tapi terus terang, dia sendiri pada awalnya tak yakin bahwa tulisannya itu bagus. Bakal dapat pujian. Bayangkan saja, jika seorang yang sama sekali tak tau musik jazz disuruh menulis tentang jazz. Apa yang bisa ditulis?



Tapi Lupus cukup pintar untuk memetik sesuatu yang berharga dari pengalamannya. Bahwa sesuatu yang kelihatan remeh, yang kadang tak terlihat di mata orang, bisa menjadi sangat menarik. Tinggal kepekaan kita untuk menangkap ’sesuatu’ itu. Dan ini yang menjadi modal Lupus untuk tetap menulis. Tulisannya memang tak akan mempengaruhi apa-apa. tetapi bisa merupakan sumbangan kepada remaja pembacanya untuk membuka cakrawala pemikiran mereka lebih luas lagi.



Telepon berdering. Lupus dipanggil. Ada orang yang ingin bicara dengannya. Lupus pun menerima.



“Halo, kami dari panitia jazz Open Air kemarin. Terima kasih untuk artikel yang Anda buat. Itu lebih berharga bagi kami, daripada apa yang kebanyakan orang ketengahkan di majalah lain, untuk koreksi diri. Anda benar, kita tak bisa memaksakan selera remaja. Lain kali kita akan adakan acara serupa, tetapi lebih disesuaikan dengan selera remaja. Anda bisa kasih pandangan? Oya, bulan depan ada acara jazz lagi di TIM. Anda mau datang? Kalau mnu, akan kami kirim undangannya .... ”



Lupus terdiam. Nonton jazz lagi? Oh. God, kali ini—apalagi yang bisa saya tulis?

baca lupus online

 Tangkaplah Daku, Kau Kujitak




Kenal Lupus? Anak kelas satu SMA Merah Putih yang doyan mengenakan baju lengan panjang itu? Dia Iumayan ngetop, Iho Serius. Kalau kebetulan kamu mampir ke rumahnya dan menyebut namanya, pasti orang seisi rumah pada tau semua.Itu kan membuktikan bahwa dia cukup ngetop. Setidaknya, ya... di antara orang seisi rumahnya. Model anaknya seperti kebanyakan remaja sekarang, kurus dan rada tinggi. Tampangnya lumayanlah, daripada kejepit pintu. Yang menarik sih model rambut dengan rambut depan yang panjang hampir menunutupi matanya. Sementara bagian samping dipotong rapi ke arah belakang. Sedang bagian belakang, panjang hampir menutupi kerah. “Biar kayak john Taylor,” sahutnya ge-er.



“Eh, kamu dari belakang malah kayak Mick jagger deh,” begitu teman-temannya sering memujinya, “tapi kalo dari samping, kok kayak mikrolet... ?”



Dan Lupus tak pernah merasa tersinggung diledek begitu.



Bila kamu kebetulan sempat memperhatikan dengan lebih saksama lagi, kamu akan melihat dia selalu membawa permen karet ke mana dia pergi. Jangan sekali-kali minta, karena dia terlalu pelit untuk memberikan makanan-makanan yang sangat dia sukai. Kecuali kalau kamu tukar dengan coklat yang harganya tentu lebih mahal. Dan Lupus hanya akan memakan permen karetnya saat dia merasa grogi, bingung, atau tidak mempunyai makanan lain yang bisa dia minta dari temannya secara gratis. Curang, ya? Dia memang begitu. Dan satu hal yang jelek, dia tak pernah bisa menghilangkan kebiasaan buruknya untuk menempelkan bekas permen karet pada bangku sebelahnya yang kosong di bis kota. Entah berapa korban yang telah dirugikannya. Satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, dia mempunyai sifat yang sangat pendiam. Terutama kalau lagi tidur. Tapi nggak tentu juga. Dia bisa menjadi orang yang begitu cerewet jika berkumpul dengan orang-orang yang disukainya.



Dan seperti kebanyakan remaja lainnya, dia pun amat menyukai musik. Semua musik, kecuali musik ilustrasi film horor. Dia tak bisa melepas kebiasaannya untuk bernyanyi kalau lagi jalan-jalan. Kalau sudah begitu, teman sebelahnya akan terkejut dan menatap cemas padanva, “Kamu lagi batuk, ya?”



Dia juga suka menulis artikel dan kadang juga cerpen di majalah remaja. Keahlian ini mungkin satu-satunya hal yang bisa dibanggakan dari dirinya. Karena dengan begitu, dia tak pernah minta uang dari ibunya kecuali kalau terpaksa (malangnya, dia justru sering berada dalam keadaan terpaksa harus minta uang pada ibunya). Tapi ibunva yang baik hati itu tak pernah kesal. Sebab kalau lagi punya uang banyak, Lupus sering memberikan sebagian kepada ibunya.





•••





Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Lupus bengong nungguin bis di terminal Grogol. Sejak terminal bis Grogol dipindahkan ke Kalideres (eh, tau Kalideres, kan? ltu lho, dekat Kalifonia...), Lupus memang merasa dirugikan. Bis-bis yang lewat situ sudah sarat dengan penumpang. Dan kalau begitu, bis-bis itu pada jual mahal semua. Mereka terlalu gengsi untuk sekadar mampir di Terminal Grogol guna menjemput Lupus. Walhasil, Lupus terpaksa sering kedapetan sedang mengejar-ngejar bis yang berhenti agak jauh di depen. Ditambah lagi bis yang jurusannya lewat sekolah Lupus termasuk langka. Kadang sebulan sekali baru lewat. Itu juga kalau sopirnya merasa iseng karena tak ada hal lain yang perlu dikerjakan (hehehe...)



Dan saat itu, Lupus masih asyik berbengong-ria. Saking lamanya, muka udah kaya terminal face. Mana bawaannya lumayan banyak seperti orang yang mau pulang kampung. lni gara-gara guru biologi yang menyuruh bawa contoh-contoh tanaman, baju praktek, dan barang-barang Iain umuk praktekum biologi siang nanti.



Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti para transmigran Iain, Lupus dengan semangat ’45 turut berpartisipasi membudayakan Iari pagi dalam rangka mengejar bis kota. Lumayan, Lupus bisa menyusup ke dalam, berdesakan dengan seorang gadis manis berseragam sekolah. Dan ini memang merupakan satu-satunya nikmat yang diberikan Tuhan buat orang-orang seperti Lupus. Hanya pada saat itu Lupus berani menyentuh cewek, mencium bau parfumnya dan sekaligus mengajaknya ngobrol. Siapa tau jodoh ....



Dan tak terlalu aneh memang kalau Lupus pun mempergunakan kesempatan itu. Setelah berlagak tak sengaja nginjek kaki cewek manis itu, Lupus dengan wajah memelas mencoba memulai komunikasi dengannya. Meski kata orang, menjalin komunikasi itu bisa dengan beberapa cara, tetapi rasanya cara inilah yang paling tepat buat Lupus.



“Eh, maaf, ya. Nggak sengaja. Abis didorong-dorong, sih. Sakit, ya?” ekspresi Lupus benar-benar sempurna menunjukkan rasa penyesalannya. Wah, ada bakat jadi aktor watak dia.



“Enggak. Enggak sakit. Injek aja terus” sahut cewek itu dingin. Lupus kaget. Berkat sandiwaranya yang kurang sempurna, dia sampai Iupa mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek itu.



“Eh, kamu marah, ya?” Wajah Lupus penuh penyesalan. Kali ini serius.



Gadis itu tersenyum.



Oh. God, ini kesempatan baik.



“Nama kamu siapa?” tanya Lupus Iagi setelah beberapa saat saling membisu. Gadis itu sedikit heran mendengar pertanyaan yang rada ‘Iain’ itu. Dasar cowok, abis nginjek minta kenalan. Beberapa saat dia cuma memandang Lupus. Lupus jadi serba salah sendiri. Jadi mikir, apa dosa nanya begitu?



“Saya Yanti. Kamu siapa?” sahutnya balik bertanva.



“Saya Lupus,” jawabnya sambil mengulurkan tangan. Dan bisa ditebak. Untuk seterusnya mereka ngomong soal sekolah, cuaca, film, musik, dan makanan favorit.



Di luar jalanan macet. Pagi-pagi begini memang banyak orang yang bertugas. Tapi Lupus sama sekali tidak mengutuki keadaan itu. MaIah bersyukur. Dan di Senayan, seseorang turun. Meninggalkan bangku kosong yang Iangsung diduduki Yanti. Lupus pun segera menitipkan bawaannya yang banyak kepada Yanti. Contoh-contoh tanaman serta diktat yang besar-besar.



Tapi sial Di sebelah Yanti ternyata duduk seorang cowok yang langsung mengaiak ngomong Yanti. jauh lebih agresif dari Lupus. Ngomongnya disertai humor-humor yang sama sekali tidak Lucu menurut Lupus, tapi bisa membuat Yanti tertawa-tawa kecil. Lupus mengutuki Yanti yang begitu mudah akrab dengan cowok itu, sampai menelantarkan dirinya. Dasar cewek Makinya dalam hati.



Dan dia terus menggerutu sampai kelupaan turun. Akhirnya dengan tergesa-gesa. Lupus pun menerobos desakan penumpang untuk segera melompat ke pintu bis. “Kiri Kiri, Bang” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Sang kondektur memandang sewot ke arahnya. “Sial, lu Bukan dari tadi bilangnya”



Lupus melompat turun sambil meledek kondek· tur yang marah-marah. Lalu jalan menelusuri trotoar. Tapi, astaga Barang-barang bawaan serta diktatnya ketinggalan di bis Lupus Iangsung balik hendak mengejar bis itu, tapi yang tertinggal cuma kepulan debu dan derunya. Lupus habis memaki-maki. Dasar cewek pembawa petaka Percuma tadi bagun pagi-pagi nyari contoh tanaman buat praktek kaIo akhirnya begini Mau pulang Iagi, jelas nggak keburu.



Wah, rasanya mau teriak keras-keras. Menumpahkan kekesalan yang mbludag di hatinya. Tapi situasi tak mengizinkan. Banyak anak-anak sekolah yang Iagi jalan. Jangan-jangan malah dikira gila. JaIan paling aman iaIah memakan permen karet dan menggigitnya keras-keras. Dia nyesel, kenapa tadi rambutnya si Yanti nggak ditempelin permen karet saja, biar tahu rasa



“Hei... Lupus” dari kejauhan terdengar suara cewek memanggil. Lupus segera menoleh. Eh, itu Yanti sambil mengacung-acungkan tanaman serta diktatnya.



“Kamu Iupa bawa ini, ya?” teriaknya Iagi. Wajah Lupus berubah cerah. Lho. Yanti kan harusnya turun di Mayestik, kok dia bela-belain ngebalikin barang-barang itu sih? pikirnya.



“Wah, makasih banget, Yan Bawa sini dong” sahut Lupus girang sambii menghampiri Yanti, tetapi Yanti malah menjauh sambil tertawa-tawa. ”Ayo, tangkap dulu, dong. Hahahaha .... “



Dan Lupus pun mengejarnya dengan mudah. Hm, romantisme ndeso Mereka pun tertawa-tawa.



“Kamu sombong ya, turun nggak bilang-bilang” sahut Yanti terengah-engah. Lupus cuma mencibir. “Kamu sih keasyikan ngobrol sama cowok itu. Jadi ngelupain saya” balas Lupus.



“ldih, cemburu, ya?”



“Nggak” jawab Lupus dengan wajah memerah. Tapi akhirnya Lupus pun dengan setia menemani Yanti menunggu bis yang akan lewat berikutnya. Nggak peduli bel sekolah yang berdentang di kejauhan. Dan dia malah bersyukur ketika bis yang ditunggu tak kunjung tiba.





2. Kencan Pertama





“Kalian liat Lupus?” tanya Poppi pada Ita dan Yuni yang lagi asyik nggosip di ujung sekolah. kelas-kelas sudah rada sepi, pelajaran baru saja berakhir beberapa menit yang Ialu. Tapi beberapa anak masih terlihat nongkrong di sekolah. Masih doyan ngumpul. Heran—padahal besok pasti ketemu lagi.



“Nggak—“ jawab Ita singkat.



“Ke mana sih anak itu? Tadi masuk, kan?”



Poppi jelalatan memandang pada sekelompok anak yang barjalan pulang beriringan.



“Tadi kan waktu keluar main kedua dia dipanggil Pak Kusni, mungkin masih di sana. Ngapain sih nyari dia?”



Poppi cuma tersenyum sambil mengedipkan matanya. Lalu berlari ke ruang kesenian. Betul juga, anak itu Iagi asyik ngobrol sama Pak Kusni. Pasti soal musik atau urusan kesenian Iainnya.



“Selamat siang, Pak. Maap, mengganggu sebentar. Lagi asyik, ya? Saya mau pinjam Lupus sebentar bo|eh?” sapa Poppi ramah. Pak Kusni mengangguk, Lupus pun ditarik ke luar.



“Ada apa, Pop?”



“Saya cuma mau ngasih selamat. Saya sudah baca cerita kamu yang menang sayembara itu. Hayo, kamu nggak bisa mengelak Iagi, katanya mau traktir”



Lupus nyengir sambil mengacak-acak rambutnya.



“Eh, kamu tau juga, ya? Boleh deh kalau kamu mau, asal jangan yang mahal-mahal.”



“Sekarang?”



‘”Terserah. Saya selalu punya kok waktu untuk cewek cakep macam kamu,” goda Lupus.



“Nggak usah ngerayu. Tapi jangan siang ini, ya?”



“Apanya? Ngerayunya?”



“Bukan. Itu, traktirnya. Siang ini saya udah dijemput. Mau Iangsung kursus Inggris. Gimana kaIau... eh, gini aja. Gimana kalau kita nonton aja? Mau?”



“Di tempat gelap-gelapan? Mau dong. Nonton apaan?”



“Apa aja. Di bioskop murahan dekat pasar situ. Kita nonton yang sore aja. jam limaan, soalnya besok kan sekolah. Tapi pulangnya beli bakso, ya?”



“Boleh. Terus berangkatnya gimana? Saya jemput kamu atau kamu jemput sa...”



”Gombal, kamu jemput saya dong. Gitu aja deh, saya udah ditunggu sopir nih. Sampai nanti, ya?”



Poppi berlari ke pintu gerbang. Lupus tersenyum waktu dia membalik dan melambaikan tangannya.





•••





Jam lima kurang seperempat. Lupus belum juga kelihatan batang hidungnya. Keterlaluan. Apa dia tak tau kalau saya udah rapi begini sejak setengah jam yang Ialu? pikir Poppi kesal. Memang benar, pulang dari les lnggris tadi, dia tak biasanya langsung mandi. lengkap dengan gosok gigi dan cuci rambut. Lalu setengah jam duduk di depan kaca. Sibuk dengan segala macam atributnya. Madonna juga kalah menor. Setelah selesai, dia berputar-putar di depan kaca. Ke kiri ke kanan. Persis anak TK Iagi karnaval.





Tapi sekarang, hampir setengah jam dia duduk di teras. Membolak-balik majalah dengan kesal. Poppi tau, Lupus doyan ngaret. Dalam artian suka datang terlarnbat dan suka makan permen karet. Tetapi Poppi sama sekali nggak bisa menerima kalau pada saat bersejarah seperti ini, dia masih mati-matian mempertahankan kebiasaan ngaretnya. Boleh dibilang ini kencan pertama mereka, kalau memang jodoh. Soalnya Poppi sendiri sebetuInya sudah mulai tertarik ketika baru masuk SMA, enam bulan yang Ialu.



Dia masih ingat, saat itu dia langsung ditunjuk jadi ketua kelas. Dan dia pun mulai memerintahkan teman-teman lain untuk membawa segala macam keperluan kelas. Dari sapu. kalender, hiasan dinding, ember, lap, keset, pokoknya macem-macem deh. Soalnya saat itu juga masih dalam masa ‘perkenalan sekolah’. Lupus yang datang terlambat iuga kebagian dapat tugas membawa bulu ayam.



Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, anak-anak sudah ngumpul di sekolah. Hari kedua itu akan diadakan Iomba kebersihan kelas. Maka mulailah Poppi dengan lagak bak panglima perang memeriksa bawaan anak buahnya. Ketika sampai pada bangku Lupus, dia sedikit heran karena anak itu kayanya cuma bawa buku satu. Nggak bawa tas atau bawaan lainnya.



“Hei, mana bulu ayamnya?” “Hm? Oya..., tunggu sebentar. Mudah-mudahan nggak jatuh di jalan” sahut Lupus sambil membolak-balik Iembaran bukunya yang kucel. Lalu dia pun mengambil sehelai buIu ayam yang terselip di situ. “Ini dia. Untung nggak jatuh. Satu cukup, kan? Untuk apa sih? Kilik kuping, ya?” Ianjutnya kalem. Poppi hanya melotot padanva, diiringi tawa teman-teman vang Iain. Tapi Lupus memang tak salah. Dia benar-benar nggak tau kalau yang Poppi maksudkan itu bukan sekadar sehelai bulu ayam, melainkan kemoceng.



Poppi sering geli sendiri jika ingat kejadian itu. Dan entah kenapa, dia jadi suka membayangkan Lupus. Anak itu polos, jarang lho bisa ketemu cowok polos begitu di Jakarta ini.



“Hei, Perawan” teriakan keras dari jalanan mengagetkan Poppi dari lamunannya. Tanpa dia sadari, sekelompok anak muda tengah ramai menertawakannya dari beIik pagar. Poppi langsung melirik ke jam tangannya. Sudah Iewat magrib. Dia pun dengan cepat masuk ke dalam. langsung ke kamar dan menuliskan kalimat I hate Lupus seratus kali di buku hariannya dengan tinta merah. Setelah itu, dia merasa matanya mulai basah ....





•••





Apa pun alasannva, Poppi sudah tak mau dengar lagi. Pasti Iagu lama yang bakal keluar dari mulut Lupus yang brengsek itu. Putusannya sudah bulat, Poppi tak sudi berbicara dengannya lagi. Sakit hatinya diperlakukan begitu. Kalau untuk pertama kali saja Lupus sudah berani mengingkari janji begini, bagaimana untuk seterusnya?





Dan ketika Lupus melewati tempat duduknya, Poppi melengos. Persis lembu. Sedang Lupus dengan sikap yang biasa langsung menuju bangkunya. Menarik-narik rambut Utari yang panjang untuk mima salinan pe-er.



Sampai keluar main kedua, Lupus tetap tidak datang minta maaf pada Poppi. Keterlaluan, pikirnya. Padahal dia sudah dari jam setengah delapan pagi siap pasang muka bertekuk. Siap untuk bersikap sedingin biang es. Tapi Lupus tetap tak datang. Malah asyik ngocol soal Queen sama Meta.



Pulang sekolah tanpa diduga, Lupus menunggu di dekat mobil. Diam memandangi daun-daun yang terbang tertiup angin. Poppi memandang heran ke arahnya. Kadar kemarahannya sudah berkurang sedikit.



“Kamu mau apa?” sahutnya ketus ketika sampai di depan Lupus. Lupus kaget dan menoleh.



“Saya...”



“Sudah ketemu alasan yang pas untuk membela diri?”



“BeIum. Saya justru Iagi nyari. Kamu ada ide? Soalnya saya nggak bakat ngebohong...” sahut. Lupus sedih.



Dengan dongkol Poppi mendorong tubuh Lupus yang menghalangi pintu mobilnya, lalu segera membuka pintu tanpa menoleh.



“Tunggu, kamu nggak adil memperlakukan saya dengan kasar begitu. Saya kan nggak pernah berbuat kasar sama kamu .... ”



“Apa? Saya nggak adil? Dan bagaimana dengan kamu yang seenaknva mengingkari janji waktu kemarin itu ?” bantah Poppi ketus. “Alasan apa Iagi yang mau kamu katakan sekarang?”



“Justru itu yang mau saya bicarakan. Saya nggak punya alasan apa-apa. Makanya saya baru mau ngomong setelah nggak ada teman-teman Iain. Saya malu sekali. Kamu jangan mengira saya nggak sedih batal pergi sama kamu. Kamu harus mengerti saya. Maafkan kecerobohan saya .... ”



“Ini Iebih dari sekadar ceroboh. Ini soal tanggung jawab” teriak Poppi. “Kamu egois Pengecut”



Meledaklah amarah Poppi. Lupus semakin terpojok. Matanya menatap kosong ke depan. Dan sampai sepuluh menit berikutnya, Poppi terus berkicau dengan kecepatan suara yang sukar diukur dengan stop-watch sekalipun. Sampai akhirnya, dia kecapekan sendiri. Menatap Lupus yang sama sekali tidak bereaksi.



“Nah, sekarang terus terang aja. Kenapa kamu nggak datang kemarin sore? Nggak usah berdalih macam-macam” suara Poppi melemah. Lupus kelihatan ragu. ”Saya...”



”Ya, kenapa?” desak Poppi tak sabar.



“Saya nggak tau rumah kamu .... “ suara Lupus pelan sekali.



“Apa?” Poppi terbelalak.



“Maafkan saya. Saya memang paling norak. Saya malu sekali dengan kebodohan saya ini. Sungguh mati, ini yang pertama buat saya untuk pergi dengan seorang gadis. Saya terlalu gembira dan tak tau apa yang harus saya Iakukan. Saya sama sekali nggak sadar kalau saya tak pernah punya alamatmu. Jadi, mana mungkin saya bisa menjemputmu? Kau mau memaafkan saya? Lain kali, saya Janji...” suara Lupus makin pelan.



Beberapa saat, Poppi tak tau apa yang harus dilakukannya. Hanya matanya yang menatap lebih bersahabat.





•••





“Lupus” panggil Poppi pelan, ketika Lupus memasuki kelas keesokan harinya. Lupus Iangsung menoleh dan menghampiri Poppi.





“Ada apa?”



“Hus, jangan keras-kears Anak nakal, nanti sore saya tunggu kamu lagi jam lima. Ini alamat saya, jangan sampai hilang, ya?”



Poppi menyerahkan secarik kertas, Ialu seperti tak terrjadi apa-apa dia berjalan meninggalkan Lupus.



“Eh, tunggu” tahan Lupus.



“Ada apa Iagi?” Poppi celingukan takut kepergok temannya.



“Ini, saya juga mau ngasih alamat. jemputlah saya kalau kamu kelamaan menunggu .... “



Poppi melotot.

Senin, 14 April 2014

ULANG TAHUN




ADA seorang teman Lupus. Namanya Pepno SH. Anaknya masih kecil. Sekecil Lupus. Badannya rada kurus. Berkulit hitam, dan berambut agak ikal. Kalau habis berlari-larian ujung hidungnya suka berkeringat. Seperti embun di pagi hari.

Lupus sering bermain-main dengan dia.

Seperti juga kamu, Lupus pertama heran. Kenapa si Pepno ini kecil-kecil sudah punya gelar SH? Nggak taunya itu nama bapaknya: Simin Harjo, yang biasa disingkat SH. Hihihi... lucu, ya?

Nah, sore tadi si Pepno berlarian datang ke arah Lupus yang tengah bersiap-siap pergi mengaji. Ia berbisik, “Pus, besok datang ke rumahku, ya? Aku ulang tahun. Eh, tapi jangan lupa bawa kado dong. Biar balik modal.“

“Ulang tahun?” Lupus bertanya heran. “Ulang tahun apa?”

Ih, Lupus norak, ya? Masa ulang tahun aja nggak tau?

Tapi kalian memang mesti maklum kalau ternyata memang ada anak yang belum tau apa itu ulang tahun. Karena di sebagian keluarga, ada. yang menganggap kalau ulang tahun itu tak perlu dirayakan. Apalagi kalau orang tuanya pelit, seperti bapaknya, si Lupus. Merayakan ulang tahun dianggap pemborosan saja, katanya. Makanya, Lupus nggak apa itu ulang tahun.

Mata Pepno yang bulat dan lucu itu menyipit.

“Ulang tahun apa? Ya ulang tahun saya.” Pepno ternyata bingung juga menjawab pertanyaan Lupus.

“Ulang tahun itu apa?” Lupus masih belum mengerti juga. “Ulang tahun itu adalah tahun yang diulang,” ujar Pepno setengah ragu. Ya, habis bagaimana dia harus menjelaskan. “Kata mama saya, setiap tanggal 21 April itu ulang tahun saya.”

“Lha? Kenapa harus tanggal 21 April?” tanya Lupus. “Tidak tanggal 10 Nopemnber atau 32 Januari saja?”

“Tau tuh. Mama sukanya tanggal 21 April sih. Gitu aja, Pus. Jangan lupa besok sore. Dadaaah. ...”

“Eh, tapi dijemput, ya?”

***

Pulang mengaji, Lupus mendapatkan ibunya sedang asyik mengobrol dengan Tante Ani, tetangga sebelah. Menjelang magrib, kala urusan rumah tangga sudah diselesaikan semua, ibu Lupus sering duduk-duduk di taman mengobrol dengan tetangga sambil minum teh. Bapak sih jarang ikutan nimbrung. Kerjaannya sepulang­ kantor tidur melulu.

“Dulu, anak saya si Lulu, suka sekali mengisap jempolnya, Jeng. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” ucap ibu Lupus sambil menuangkan teh buat Tante Ani. Lupus yang bandel, sempat juga menguping dari balik pohon asoka.

“O ya? Bagaimana cara mengatasinya, Jeng?”

“Mudah saja, Jeng. Jempolnya, suka saya beri yang pahit-pahit. Jamu, misalnya.”

“Lalu, setelah itu bagaimana reaksinya, Jeng?”

“Sekarang, ia mengisapi jari kelingkingnya.“

Hihihi... Lupus tak bisa menahan ketawanya. Ini jelas membuat ibu Lupus berang. “Hayo, Lupus! Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan suka mencuri dengar pembicaraan orang tua!”

Lupus keluar sambil tertawa-tawa kecil.

Dan dia segera bilang ke ibunya bahwa besok ia diundang ke. Ulang tahun Pepno.

“Ulang tahun yang keberapa?” tanya Ibu.

Wah, keberapa, ya? Lupus bingung. Soalnya dia tak tanya tadi. “Eeeng... suit sepentin kali, Bu!”

Ah, Masa sweet seventeen? Ibunya tak percaya. Ibunya berkata, kalau tak salah Pepno lahir berbarengan dengan pohon pisang yang ditanam Bapak di kebun belakang.

“Wah, jadi si Pepno ­udah tua dong, Bu,” ujar Lupus heran. Ya, karena pohon pisang yang dimaksud Ibu itu sudah reot. Pelepah pisangnya sudah berwarna cokelat. Disentil juga roboh.

“Pepno lain dong dengan pohon pisang. Pohon pisang memang cepat besar dan tua. Tapi Pepno kan tidak,” jelas ibunya.

“Oo... mungkin karena Pepno jarang disiram dan diberi pupuk ya, Bu?” simpul Lupus.

Yah, mungkin sekarang Pepno umurnya sama dengan Lupus. Tujuh tahun. Sekarang, Lupus pun mengira-ngira, kado apa yang cocok buat Pepno.

“Eh, gimana, Bu, kalo beli buku tulis saja buat kadonya Pepno?” usul Lupus.

“Ah, jangan. itu terlalu murah. Lebih baik potlot aja!”

Tapi ternyata Pepno tidak cuma mengundang Lupus. Lulu pun sudah diberi tahu. Pepno juga berpesan agar Lulu membawa kado.

Lulu mengusulkan agar Pepno diberi boneka saja.

Lupus jelas menolak. “Pepno kan anak laki-laki. Masa mau dia diberi boneka?”

“Kalo dia nggak mau, kan bica buat Lulu aja. “

Pertengkaran Lupus dan Lulu sebetulnya bakalan seru. Tapi Ibu buru-buru melerai. Ibu cuma mau membelikan satu kado saja. Dan akhirnya diputuskan, Pepno akan dibelikan pistol-pistolan air saja

***

Sorenya pistol-pistolan air yang cukup unik itu siap dibungkus. Sebelum dilapisi kertas kado yang cantik, Ibu membungkusnya dengan beberapa kertas koran.

“Kenapa mesti begitu, Bu?” tanya Lupus.

“Biar kelihatan besar. Nanti kan Pepnonya senang.”

Pistol-pistolan air itu memang jadi kelihatan besar sekarang. Apalagi setelah dibungkus kertas kado yang bermotifkan warna-warni. ­Jadi kelihatan tambah cantik. Wah, si Pepno pasti senang.

Tapi, astaga! Pistol-pistolan ini belum dicoba. Lupus cemas. Ya, bagaimana kalau ternyata pistol-pistolan air ini macet? Bisa malu dong. Kok ngasih hadiah nggak bisa dipakai?

Maka diam-diam Lupus pun membuka kado yang udah terbungkus rapi itu. Gulungan koran yang membuatnya gemuk, kini berserakan di lantai. Lupus tak peduli. Yang penting pistol ini mesti dicoba dulu.

Setelah dibuka, pistol air itu diisi air. Dan ditembakkan ke arah pot-pot bunga. Kadang-kadang, rambutnya pun dibasahi oleh pistol-pistolannya itu. Lupus senang, berarti pistol mainan ini tidak macet.

Lagi asyik-a­yiknya mencoba, Ibu datang. Ibu habis membeli pita. Untuk kado dan untuk rambutnya Lulu. Biar kedua-duanya cantik.

Jelas saja Ibu ngomel melihat ulah Lupus.

“Aduh, Lupus. Kenapa kadonya dibuka begitu?”

“Habis tadi belum dicoba, Bu. Lupus khawatir kalo pistol-pistolan ini macet.”

Ibu akhirnya membungkus kado itu lagi. Cuma kali ini ditambahi pita biar cantik.

Kado ini ternyata tidak mau kalah saingan sama rambut Lulu yang senantiasa berpita. Lupus pun ikut-ikutan meminta dipakaikan pita. Tapi Ibu melarang. Lupus nekat. Ia mengambil kaset dan mengeluarkan pitanya yang panjang. Kemudian digulungkan ke rambutnya. Lupus ternyata juga tak mau kalah saingan.

“Hihihi... pitaku lebih panjang!”

***

Sore itu di rumah Pepno sudah ramai. Banyak juga temannya yang datang. Pepno memang mengundang semua teman-teman mainnya.

Rumahnya sendiri tampak semarak. Dihiasi balon-balon, kel tas Warna-warni, dan juga kue tart besar berlilin tujuh yang begitu menarik perhatian Lupus.

Pepno memakai baju baru. Warnanya merah, dan dimasukkan ke dalam celana panjangnya yang juga baru. Pepno jadi kelihatan ganteng. Kayak sekoteng.

Tapi perhatian Lupus tetap tak lepas dari kue tart besar yang dilapisi cokelat itu. Oi, pasti enak sekali rasanya. Lebih enak dari kue bikinan Ibu. Ah, mudah-mudahan saja kue itu tidak hanya sekadar buat pajangan.

Selanjutnya acara dibuka dengan nyanyi-nyanyi bersama. Sambil bertepuk tangan meriah. Kadang anak-anak bernyanyi saling adu cepat. Mungkin dengan harapan yang duluan selesai nyanyi bakal segera mendapat potongan kue tartt.

Kemudian disusul dengan acara-acara menarik. Di antaranya seperti mengoper gelas yang diisi air, sambil diiringi musik. Bila gelas itu berada di t1ngan seorang anak dan bersamaan dengan matinya musik, berarti anak tadi mendapat hukuman. Boleh nyanyi, boleh baca puisi. Boleh juga berjoget sepuas hati.

Mereka kelihatan suka dengan permainan itu. Kecuali Lupus Ia cuma berharap agar jadwal pemotongan kue tart itu dipercepat saja. Rasanya lezatnya kue itu sudah sampai di lidah saja. Oi, pasti enak sekali. Lupus sama sekali tidak memperhatikan permainan oper-mengoper gelas. Maka ketika ia mendapat gelas berisi air yang semestinya diserahkan ke teman di sebelah, Lupus malah meminum airnya.

Anak-anak pada terheran-heran.

Lupus pun terpaksa dihukum. Pilihan hukumannya, baca puisi.

Tanpa ragu, Lupus pun membacakan puisi karyanya sendiri,

“di laut sudah pasti ada iar

di air belum tentu ada laut

di rumah sudah pasti ada pintu

di pintu belum tentu ada rumah

di meja sudah pasti ada sepotong kue

dan kuenya belum tentu dipotong...”

Anak-anak bertepuk riuh. Akhirnya saat yang mendebarkan bagi Lupus pun tiba, Pepno memolong, kue tart jadi beberapa bagian. Potongan pertama untuk maminya, kedua untuk papinya, ketiga untuk adiknya, keempat untuk kakaknya, kelima untuk neneknya, keenam untuk kakeknya....

“Lha, untuk saya mana, ya?” pikir Lupus cemas.

Lupus khawatir kalau-kalau kue itu memang buat keluarga Pepno saja. Wah, bisa gawat nih! Lupus sebel, kenapa tuan rumah kadang cuma menyediakan kue yang mahal-mahal untuk pajangan ­aja? Bukan untuk dibagikan pada tamunya.

Tapi ternyata dugaan Lupus meleset. Kue tart itu juga dibagikan kepada teman-teman yang lain. Tentu termasuk Lupus. Lupus mendapat bagian yang lebih besar. Karena baca puisinya bagus. Lupus sangat girang sekali. Dia memakan sedikit demi sedikit. “Biar enaknya lama.”

Tapi kapan ya, bisa makan kue enak lagi? Lupus pun merenungi. Hingga kemudian dia bangkit menghampiri maminya Pepno dan membisiki, “Tante, bagaimana kalo ulang tahunnya Pepno tiap seminggu sekali aja, Tante?”



5 Ke Sekolah

PAGI-PAGI sekali Lupus sudah bangun. Maklum, kalau tidak bangun pagi-pagi, dia bisa terlambat pergi ke sekolah. Dan kalau sampai terlambat ke sekolah, Lupus bisa kena setrap. Kalau sampai kena setrap, Lupus bisa disuruh berdiri di pojokan kelas sepanjang pagi. Kalau sampai disuruh berdiri di pojokan kelas, Lupus bisa malu. Kalau sampai malu... ah, makanya, Lupus lebih baik tidak terlambat ke sekolah.

Tapi sebetulnya, Lupus masih suka dibangunkan ibunya daripada bangun sendiri. Pernah sesekali Lupus berpesan pada ibunya agar jangan dibangunkan. Akibatnya Lupus baru bangun ketika jam dinding di rumahnya berdentang sembilan kali. Makanya Lupus hingga sekarang lebih suka dibangunkan saja. Lupus sendiri heran, kenapa dia susah bangun pagi. Padahal menurutnya, dia tidak pernah tidur terlalu larut. Paling-paling jam sembilan dia sudah masuk kamar. Cuma, ya di kamar dia suka keasyikan baca buku cerita hingga larut malam.

Kegiatan Lupus setiap pagi selain bangun tidur, biasanya ngulet-ngulet sedikit. Tau ngulet, kan? itu lho, senam gaya ulet. Ya, habis senamnya kan di tempat tidur. Lupus kadang juga suka lari pagi. Berkeliling-keliling kompleks perumahan sebanyak satu kali. Larinya kadang-kadang pelan, kadang-kadang cepat Lupus suka lari cepat kalau kebetulan dikejar sama anjing tetangga yang galak. Setelah lari pagi, biasanya Lupus mandi. Tak lupa sikat gigi, kalau kebetulan ditunggui Ibu. Habis itu handukan. Yah, terpaksa handukan ini diharuskan jadi kebiasaan. Karena Lupus setelah mandi suka lupa handukan. Masih basah kuyup, langsung pakai baju seragam. Kan jadi basah semua, ya, bajunya. Setelah urusan mandi selesai, Lupus sarapan. Untuk sarapan ini tak biasa makan nasi. Tapi cukup lontong sayur saja. Tapi kadang-kadang, dia juga makan roti.

Sehabis makan roti, biasanya masih ada sedikit waktu untuk sekadar mengobrol dengan adiknya Lulu, atau dengan ibunya yang sedang mengolesi roti buat Bapak di meja makan.

“Bu, semalam Lupus mimpi dikejar-kejar raksasa. Uh, tegang deh. Lupus lari sekuat-kuatnya,” celoteh Lupus seru.

Ibunya memandang sebentar. Lalu dengan pelan berujar, “O, pantas kasurmu basah semua. Mungkin itu cucuran keringatmu, ya, Pus,” sindir ibunya menahan tawa.

Lulu sudah cekikikan saja di ujung meja. Ih, ketauan. Lupus pasti ngompol. Lupus memang paling bisa berdalih kalau dia ketauan ngompol. .

Tapi Lupus pura-pura tak mendengar sindiran ibunya. Dia malah mengalihkan pembicaraan. “Eh, tapi kemarin Lupus di sekolah dapat hapusan potlot. Bagus deh, Bu. Bentuknya seperti mobil-mobilan. Wangi lagi....”

“Ah, kamu dapat nyuri, ya?” sergah ibunya ketika Lupus menunjukkan penghapus barunya.

“Enggak, Bu.”

“Kamu dapat dari mana?”

“Dapat nemu di tempat pinsilnya Pepno yang sedang terbuka, Bu. Bagus, ya?”

Dan Lupus pun langsung melompat turun dari kursinya ketika ada suara teman memanggil.

“Lupus berangkat, Bu, Pak. Sampai ketemu nanti siang, ya?”

“Lupuuuus, penghapus itu...”

Ibunya berusaha menahan, tapi Lupus sudah berlarian menyambut teman-temannya.

***

Si Pepno, teman Lupus yang baru berulang tahun itu, kebetulan juga sekelas dengan Lupus. Tapi herannya, tiap hari Pepno selalu terlambat tiba di sekolah. Sampai guru-guru sudah bosan menghukumnya.

Lupus suka heran. Apa di rumahnya Pepno sulit dibangunkan kalau pagi hari? Kalau memang sulit, Lupus punya cara yang tepat untuk membangunkan anak nakal di pagi hari. Banjur saja dengan seember air dingin. Atau kalau cara itu dirasakan repot, karena akan membuat kasur basah, getok aja kepala si anak itu dengan batu bata. Wah, pasti dia akan lekas bangun.

Ah, tapi mungkin saja maminya Pepno tidak sampai hati melakukan itu. Karena Pepno memang agak disayang. Jadi mana mungkin maminya mau membangunkan dengan cara itu.

Jadi harus dicarikan cara lain. Misalnya dengan ­memasang jam weker tepat pukul enam pagi.

“Tapi, sebetulnya kenapa sih kamu suka terlambat?” tanya Lupus penasaran.

“Sebetulnya bukan salah saya, Pus,” ujar Pepno. “Yang salah gurunya.”

“Lho, kok gurunya?”

“Abis mereka datang terlalu cepat sih....”

Lupus bengong. Ah, masa iya?

Iya, kata Pepno. Dan Lupus tak percaya. Sama seperti tak percayanya Lupus pada cerita-cerita Pepno yang lainnya. Kalau duduk sebangku di kelas, Pepno memang suka cerita macam-macam. Tentang kucingnya yang katanya bisa menghilang, tentang kelincinya yang bisa berbicara.

Tapi Lupus tak pernah percaya.

Pagi ini pun, nampaknya Pepno mulai mau bercerita lagi.

“Pus, semalam aku ditinggal di rumah sendirian. Habis, Papi sama Mami pergi ke dokter mengantar adikku. Aku nggak takut, Pus. “

“Ah, aku tak percaya, Pep,” ujar Lupus seperti biasanya.

Pepno mulai sibuk meyakinkan. “ Aku betul-betul sendirian di rumah, Puso Hanya bibiku saja di dapur, Mang Iip di ruang tamu, Mbok Minang di serambi, dan kakekku di kamar. Aku lunya sendirian nonton tipi, Pus.... “

Lupus cekikikan.

Dan di samping Pepno, Lupus juga punya temen yang lucu. Namanya Uwi. Kata Lupus, Uwi ini mukanya kayak belalang. Panjang dan lancip. Tapi Uwi bilang, Lupus kayak marmut. Gemar merengut. Kalau sudah main ledek-ledekan begitu, Lupus dan Uwi cuma ketawa bareng.

Lupus suka Uwi, karena anak perempuan nakal ini sebenarnya cerdas. Paling asyik diajak main tebak-tebakan. Waktu ulang tahun Pepno, Uwi ngasih kado pulpen mungil satu biji yang dilapisi berlapis-lapis koran hingga kadonya kelihatan besar. Di dalamnya, ada juga batu kerikil, biar agak berat.

Pepno sampai frustasi waktu buka kado Uwi. Dikira di dalamnya ada robot-robotan, “atau pesawat tempur, nggak taunya cuma pulpen yang mungil.

Di dalam kadonya, ada sederetan kalimat ucapan ulang tahun buat Pepno, disertai kata mutiara yang lucu. “Jangan memandang keikhlasannya, tapi pandanglah. .. harganya.”

Lupus sampai terpingkal-pingkal ketika diceritai.

Ketika turun main, Lupus sering asyik belajar bersama Uwi. Biasanya jadi sembarangan, karena kedua anak itu memang ajaib. Biasanya Uwi yang membacakan dari buku, sambil memandangi buku bergambar. Sedang Lupus asyik memasukkan roti bekal Uwi ke dalam mulutnya hingga habis tak bersisa.

“Ikan bernapas dengan apanya, Pus?” ujar Dwi.

Lupus berpikir sejenak. Lalu sambil mengunyah roti, dia menjawab, “Dengan insang.”

“Ya, betul. Kalo ular, Pus?”

“Ular? N­g... dengan kulitnya!”

“Seratus! Kalau gajah bernapas dengan...?”

“Hidungnya!”

“Salah!”

“Kupingnya!”

“Salah!”

Lupus menelan potongan roti yang terakhir. “Jadi dengan apa?” tanyanya sambil memandang ke arah Uwi.

“Gajah bernapas dengan... teman-temannya!” ujar Dwi sambil menyembunyikan mukanya menahan tawa di balik buku bergambar. “Hihihi... iya, kan? Mereka selalu bergerombol. “

Lupus keki. Lalu sambil menutup kotak tempat kue Uwi yang sudah kosong, dia berkata, “Kalau kodok bernapas dengan...?”

“Dengan paru-paru!” jawab Uwi.

“Salah, Wi. Kodok bernapas dengan... izin Tuhan. Hihihi.”

Pepno pun datang meramaikan suasana.

“Bulu apa yang bisa marah?” kata Pepno.

“Bu Lurah,” jawab Dwi.

“Bulu apa yang bisa nangkis?”

“Bulu tangkis.”

“Bulu apa yang paling jelek?”

“Bulu ketek.”

“Bulu apa yang paling jauh?”

“Bulu roma... ibu kota Itali.”

“Bulu... ng, apa lagi, ya?” Pepno berpikir.

“Ini, Pep,” celetuk Lupus, “bulu apa yang mirip kamu, Pep?”

“Apa, ya?”

“Bulukan. Hihihi....”

Bel masuk pun berdentang lantang. Kelontang-kelonteng.



6. Membantu Lulu Makan

SETIAP pulang sekolah, Lupus masih sering dijemput. Sebetulnya letak sekolah Lupus tak begitu jauh dari rumah Lupus. Hanya beberapa kali napas, sudah sampai Tapi kalau tak dijemput, Lupus bisa petang hari baru sampai rumah. Alasannya belajar bersama atau bersama-sama nonton video.

Seperti pada hari, ibu Lupus sedang kelewat repot hingga tak sempat menjemput. Ditunggu-tunggu anak bandel itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Ibu Lupus jelas bingung. Sibuk nyari-nyari di tong sampah, di kandang ayam tetangga, di atas pohon jambu, tak juga ketemu. Pergi ke mana lagi anak ini? pikir ibu Lupus bingung. Baru ketika ibu Lupus hendak mencari dan bertanya pada teman sekolah Lupus yang dekat tukang gado-gado, tiba-tiba Lupus kelihatan sambil berjalan terseok-seok. Baju seragamnya sudah tak lagi putih warnanya. Ada bercak-bercak cokelat, kayak lumpur. Sepatunya juga. Uh, ibu Lupus pun hampir lupa pada warna asli tu sepatu. Sebab kini sampai ke kaus kaki, berwarna cokelat semua. Wah, pasti Lupus habis main di comberan.

Memang betul. Meski tidak di comberan, Lupus habis berkotor-kotoran. Dia habis main bola di lapangan dekat kali yang tiap habis hujan selalu berkubang. Sebetulnya memang sudah tak pantas bila disebut lapangan. Tapi kalau mau disebut kolam renang, tak ada yang jaga karcis di sana. Meski begitu, Lupus dan teman-temannya sangat senang bermain bola di lapangan itu. Malah bila suatu ketika lapangan itu kering saat musim kemarau, Lupus tak mau main. Alasannya nggak seru. Nggak bisa ber-ski air.

“Lupus, dari mana saja kamu! Lihat, tubuhmu penuh lumpur!” begitu ibu Lupus selalu menghardik, jika Lupus berbuat salah.

“Sa... saya abis belajar bersama, Bu,” ujar Lupus sambil menundukkan kepala. Tas sekolahnya yang juga dekil, didekap erat-erat, seolah takut ketauan.

“Belajar apa sampai kotor-kotoran begitu!”

“Belajar main bola, Bu.”

“Main bola? Ya, tapi kan main bola tak perlu di lumpur. Lagi pula kamu belum ganti baju, belum makan siang, belum tidur siang.”

“Saya main bola nggak di lumpur kok, Bu.”

“Lha, itu. Kenapa bajumu penuh lumpur?”

“Bukan salah saya, Bu. Salah lumpurnya. Kenapa dia berada di lapangan bola. Seharusnya dia berada di sawah....”

“Sudah. Ayo pulang!” hardik ibunya sambil menggamit lengan Lupus.

Itulah, makanya ibu Lupus lebih suka meluangkan waktu untuk menjemput Lupus, daripada mengkhawatirkan anak itu selalu. Dan seperti anak-anak lainnya juga, sampai di rumah Lupus dan Lulu setiap pulang sekolah pasti disuruh menukar pakaian seragam. Tapi, sekali lagi. Lupus selalu tak mau. Dia bilang dia mau mengulang pelajaran dulu. Kalo belajar, mesti memakai baju seragam. Tidak enak belajar pakai baju rumah. Tak sopan, ujar Lupus. Biar malam hari pun bila ingin mengerjakan pekerjaan rumah, Lupus senantiasa memakai seragam sekolahnya.

Menghadapi anak macam Lupus memang mesti sabar. Begitu juga dengan ibu Lupus. Kadang dibiarkan keinginan Lupus yang aneh-aneh sejauh hal itu terasa tak merugikan perkembangannya. Toh biar suka aneh-aneh, Lupus pun punya kebiasaan yang baik juga. Misalnya saja dalam hal makan. Dia paling gampang disuruh makan, tidak seperti anak lainnya. Walau badan Lupus kecil, namun nafsu makannya lumayan gede. Jadinya nggak penyakitan. Riang selalu.

Pulang sekolah, Lupus selalu makan (kalau kebetulan tidak main bola). Agak siang sedikit, makan. Sore hari, makan juga. Malamnya sebelum bikin pe-er, makan lagi. Kalau ngantuk kepengen tidur, sebelumnya mesti makan. Kalo yang ini nggak mesti nasi, lontong pun Lupus mau. Akibatnya, bapak Lupus yang suka keasyikan baca koran, tak kebagian makan malam lagi.

Tapi si Lulu justru agak sedikit susah bila disuruh makan. Seperti siang itu, sepulang sekolah. Lupus sudah selesai makan, tapi Lulu kelihatan seperti malas untuk menyentuh nasi perkedelnya. Malahan asyik bermain dengan boneka pandanya. Kalo ada Ibu, Lulu lebih suka disuapi. Tapi kini Ibu sedang kedatangan tamu. Penting agaknya. Terpaksalah Lulu disuruh makan sendiri.

Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa susahnya sih? pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru, orang hidup mesti tolong-menolong. Dengan begitu, lebih mudah untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaan juga. Maka harus dibantu. ­Otak Lupus berpikir cepat. Lalu dia pun mulai membantu Lulu. Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya. Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus terus asyik. Ia terus menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa.

Karena kenyang, Lupus pun tidur-tiduran di kolong meja Wajahnya ditutupi buku cerita. Dan lama-kelamaan Lupus jadi tidur beneran. Sebab perutnya benar-benar kegendutan.

Ibu Lupus melihat piring Lulu kosong, jadi senang. Tapi sekaligus heran. Kok tumben Lulu bisa habis makan sendiri.

“Lulu, kamu makan sendiri, ya? Pintar kamu, Lu,” ujar Ibu tersenyum.

Lulu acuh tak acuh saja. Dia malah sibuk membelai bonekanya. Kini boneka jadi anak-anaknya, dan Lulu jadi ibunya. Lulu berusaha menidurkan anaknya sambil berdendang kecil.

Rasa penasaran masih menyelimuti benak Ibu. Kemudian sekadar memenuhi rasa curiganya, ia pegang perut Lulu. Lho, kok masih kosong kempes.

“Lulu, kamu sudah makan, belum?”

Dengan santai Lulu menggeleng.

“Lalu, siapa yang menghabiskan nasimu?” desak Ibu.

“Ssst... Ibu jangan libut, ya. Nanti anak Lulu bangun,” bisik Lulu sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

Tapi ibu Lupus seperti sudah menemukan jawaban atas misteri ini, ketika melihat Lupus dengan santainya tidur di kolong meja. Di sekitar mulutnya, masih ada nasi yang tersisa. Buku cerita yang tadi menutupi wajah, terjatuh ke samping.

Ibu Lupus tersenyum, sambil membersihkan sisa nasi dan perkedel yang mengotori baju Lupus. Dipandangnya wajah Lupus lama-lama. Anak itu seperti tersenyum membalas.

“Ah, Lupus.... Lupus...,” desah ibu Lupus panjang. Kemudian bergegas menyiapkan makan siang buat Bapak.



7. Ke Toko

LULU besok ulang tahun. Baru yang keenam. Tapi ­ulu ingin hari jadinya itu dirayakan, seperti ulang tahunnya Pepno. Sebetulnya, Bapak memang kurang setuju. Karena dengan begitu, Bapak harus mencari uang tambahan untuk pesta ulang tahun Lulu. Tapi Lulu memaksa, didukung sepenuhnya oleh Lupus, yang berharap bisa makan kue tart enak lagi. Dan bagi Bapak, perang melawan dua anaknya yang bandel-bandel itu lebih mengerikan daripada perang melawan kantuk. Anak itu kompak berdemonstrasi ribut-ribut tiap sore, sehingga Bapak tak dapat lagi tenang-tenang membaca koran.

Maka, terpaksalah Bapak mengabulkan permintaan Lulu. Yah, sekali-sekali boleh dong ulang tahun itu dirayakan. Dan untuk itu, ibu Lupus mesti pergi ke toko membeli kue-kue dan kado buat Lulu.

Tiap ulang tahun, orang-orang yang berada atau datang ke rumah Lulu, selalu dimintai kado. Kalo ternyata karena sesuatu hal si orang itu tak bawa kado, maka dianggap utang. Di lain waktu, walau sudah lewat sebulan, Lulu masih rajin menagih. Makanya daripada repot-repot mendengar rengekan Lulu, Ibu lebih baik membeli kado saja.

Karena Lupus juga sejak kemarin dipaksa Lulu untuk beli kado, maka Ibu pun mengajak Lupus pergi ke toko. Tokonya cukup jauh dari rumah. Lupus, harus naik. bis kota segala. Jalan juga bisa, tapi lama. Kira-kira dua hari baru sampai. Maka itu lebih baik naik bis kota saja. Lagi pula bis kota itu murah meriah kok. Bayarnya murah dan isinya meriah. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-kakek, nenek-nenek, pokoknya macam-macam deh. Kamu tinggal pilih, mau yang mana.

Dan Lupus itu paling suka kalo diajak naik bis kota. Dia selalu pilih dekat jendela. Biar bisa melihat pemandangan dan bisa ber-dada-dada, melambaikan tangan.

Makanya Lupus langsung sibuk berdandan ketika Ibu mengajaknya pergi ke toko. Hatinya girang sekali. Sambil bersiul-siul riang, dia memakai sepatu, kemeja, dan tak lupa jam tangan mungilnya. Tapi rambutnya tak mau disisir. Biar bisa kena angin dari jendela bis kota. Kan sayang kalau disisir, jadi mubazir pikirnya.

Tapi sayang, bis yang ditumpangi Lupus itu penuh sesak. Jadinya tak bisa leluasa memilih tempat duduk di dekat jendela. Lupus menyesal, kenapa tadi tidak membawa jendela dari rumah saja, ya? Biar penuh kan bisa tetap dekat jendela. Bisa angin-anginan.

Tak lama kemudian, akhirnya mereka sampai ke tujuan. Lupus masih diliputi penyesalan. Tapi segera hilang ketika di depannya terlihat keramaian yang amat sangat. Ada anak kecil tujuh orang bergandengan tangan, ada penjual obat yang ribut menawarkan dagangannya, ada tukang rokok yang mondar-mandir ke sana kemari, atau puluhan kemeja yang tergantung, bergoyang-goyang ditiup angin. Ya, toko itu memang berada di pusat kota. Selain ada toko yang menjual kue-kue, ada juga yang menjual baju, celana, mobil-mobilan, motor-motoran, anak-anakan, ibu-ibuan, bapak-bapakan....

Ibu sambil menggandeng lengan Lupus, menuju toko yang menjual kue-kue. Tapi sebelumnya, Ibu sempat tertarik pada penjual jepit jemuran di pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima itu adalah pedagang yang kakinya li... eh, dua. Tapi barang dagangannya cukup digelar begitu saja. Tanpa diselimuti. Kasihan ya, kan nanti bisa masuk angin. Kalau sudah masuk angin, baru deh si pedagang itu sibuk mengeroki barang dagangannya. Sebab walau bagaimanapun juga, barang dagangan yang sakit kan tak bisa dijual.

Nah, Ibu sekarang sedang tertarik dengan penjepit jemuran tersebut. Ibu berniat membeli beberapa buah, supaya kalau lagi menjemur pakaian, tidak perlu lagi bersibuk-sibuk-ria mengejar jemurannya. Sebab sering ada angin nakal yang bertiup kencang dan membawa terbang jemuran Ibu yang sudah kering. Pakaian memang biasa dijemur Ibu di lapangan bulu tangkis di samping rumah. Sehingga Lupus yang hobi main bulu tangkis, pernah dengan kesal berkata kepada temannya, si Pepno, “Kamu pikir, Pep, apa kegunaannya Bapak membangun lapangan bulu tangkis di halaman samping rumah?”

“Memangnya apa? Untuk main bulu tangkis, kan?”

“Bukan. Untuk Ibu menjemur kasur secara massal!”

Dan Ibu kalo membeli sesuatu tak pernah menawar. Cuma menyarankan agar barang itu dijual murah saja. Seperti dengan penjual jepit jemuran itu. Harganya seribu rupiah, tapi disarankan agar dijual tiga ratus saja. Penjualnya tak mau. Ibu pun tak mau juga. Tapi ketika disarankan lima ratus, baru ada kesepakatan. Kemudian Ibu pun membayar, setelah sebelumnya tak lupa mereka berjabatan tangan atas kesepakatan yang telah diambil.

Selanjutnya Ibu terburu-buru melanjutkan perjalanan, yaitu ke toko kue. Tapi ­apa yang terjadi? Ibu Lupus berpikir, sepertinya ada yang ketinggalan. Tapi apa, ya? Ibu kebingungan setengah mati. Seluruh isi tasnya diperiksa. Dompetnya ada, sapu tangan ada, sisir juga ada. Lalu di depan etalase kaca, Ibu berkaca. Diamati seluruh tubuhnya. Dari ujung sepatu sampai ujung rambut. Semua komplet. Tak kurang suatu apa pun. Lantas, apa yang ketinggalan?

Seorang satpam yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Ibu, akhirnya datang menghampiri. “Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu? Apa Ibu kecurian?”

“Oh, selamat siang. Tidak-saya tidak kecurian. Tapi bisakah Bapak membantu saya?”

“Dengan senang hati, Bu. Nah, ada apa?”

“Saya mau tanya, Pak. Apakah ada sesuatu yang ketinggalan pada diri saya?” tanya Ibu.

Satpam itu jelas bengong. Ibu Lupus dongkol. Katanya mau membantu, masa ditanya begitu saja bengong?

Astaganaga! Ibu baru ingat. Ya, ampun, anakku. “Lupus! Lupus!” Ibu berteriak-teriak, berlari-lari. Tak peduli orang-orang yang memandang heran ke arahnya. Ibu kembali ke tukang penjepit jemuran. Alhamdulillah, Lupus masih ad di situ. Ibu lupa, kalau ternyata dia itu pergi bersama anaknya tercinta. Gara-gara terlalu girang karena telah mendapat penjepit jemuran, jadi lupa menggandeng anaknya.

Ketika dilihat Lupus masih segar-bugar tak kurang suatu apa. Ibu langsung memeluknya. Menciumnya. Mirip film Indonesia. Tapi Lupus sendiri biasa-biasa saja. “Lupus cuma mau menguji, lebih berharga mana, penjepit jemuran atau Lupus,” bisik Lupus pada Ibu.

Ibu tersenyum.

Tapi, ngomong-ngomong soal penjepit jemuran, Ibu jadi ingat kembali dengan penjepit jemurannya yang ditinggalnya di muka toko kue. Wah - jangan-jangan nanti hilang?

“Lupus, kamu tunggu di sini sebentar, ya? Penjepit jemuran Ibu ketinggalan!” ujar Ibu sambil bergegas kembali ke toko kue, meninggalkan Lupus yang terbengong sendirian.

Lupus cuma nyengir. Ya, ternyata dua-duanya penting. Ibu juga nggak mau dong kehilangan penjepit jemurannya!
Diposkan oleh asrul hamdani siregar di 07.20