X-Steel Pointer

Jumat, 26 September 2014

baca lupus online

 Tangkaplah Daku, Kau Kujitak




Kenal Lupus? Anak kelas satu SMA Merah Putih yang doyan mengenakan baju lengan panjang itu? Dia Iumayan ngetop, Iho Serius. Kalau kebetulan kamu mampir ke rumahnya dan menyebut namanya, pasti orang seisi rumah pada tau semua.Itu kan membuktikan bahwa dia cukup ngetop. Setidaknya, ya... di antara orang seisi rumahnya. Model anaknya seperti kebanyakan remaja sekarang, kurus dan rada tinggi. Tampangnya lumayanlah, daripada kejepit pintu. Yang menarik sih model rambut dengan rambut depan yang panjang hampir menunutupi matanya. Sementara bagian samping dipotong rapi ke arah belakang. Sedang bagian belakang, panjang hampir menutupi kerah. “Biar kayak john Taylor,” sahutnya ge-er.



“Eh, kamu dari belakang malah kayak Mick jagger deh,” begitu teman-temannya sering memujinya, “tapi kalo dari samping, kok kayak mikrolet... ?”



Dan Lupus tak pernah merasa tersinggung diledek begitu.



Bila kamu kebetulan sempat memperhatikan dengan lebih saksama lagi, kamu akan melihat dia selalu membawa permen karet ke mana dia pergi. Jangan sekali-kali minta, karena dia terlalu pelit untuk memberikan makanan-makanan yang sangat dia sukai. Kecuali kalau kamu tukar dengan coklat yang harganya tentu lebih mahal. Dan Lupus hanya akan memakan permen karetnya saat dia merasa grogi, bingung, atau tidak mempunyai makanan lain yang bisa dia minta dari temannya secara gratis. Curang, ya? Dia memang begitu. Dan satu hal yang jelek, dia tak pernah bisa menghilangkan kebiasaan buruknya untuk menempelkan bekas permen karet pada bangku sebelahnya yang kosong di bis kota. Entah berapa korban yang telah dirugikannya. Satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, dia mempunyai sifat yang sangat pendiam. Terutama kalau lagi tidur. Tapi nggak tentu juga. Dia bisa menjadi orang yang begitu cerewet jika berkumpul dengan orang-orang yang disukainya.



Dan seperti kebanyakan remaja lainnya, dia pun amat menyukai musik. Semua musik, kecuali musik ilustrasi film horor. Dia tak bisa melepas kebiasaannya untuk bernyanyi kalau lagi jalan-jalan. Kalau sudah begitu, teman sebelahnya akan terkejut dan menatap cemas padanva, “Kamu lagi batuk, ya?”



Dia juga suka menulis artikel dan kadang juga cerpen di majalah remaja. Keahlian ini mungkin satu-satunya hal yang bisa dibanggakan dari dirinya. Karena dengan begitu, dia tak pernah minta uang dari ibunya kecuali kalau terpaksa (malangnya, dia justru sering berada dalam keadaan terpaksa harus minta uang pada ibunya). Tapi ibunva yang baik hati itu tak pernah kesal. Sebab kalau lagi punya uang banyak, Lupus sering memberikan sebagian kepada ibunya.





•••





Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Lupus bengong nungguin bis di terminal Grogol. Sejak terminal bis Grogol dipindahkan ke Kalideres (eh, tau Kalideres, kan? ltu lho, dekat Kalifonia...), Lupus memang merasa dirugikan. Bis-bis yang lewat situ sudah sarat dengan penumpang. Dan kalau begitu, bis-bis itu pada jual mahal semua. Mereka terlalu gengsi untuk sekadar mampir di Terminal Grogol guna menjemput Lupus. Walhasil, Lupus terpaksa sering kedapetan sedang mengejar-ngejar bis yang berhenti agak jauh di depen. Ditambah lagi bis yang jurusannya lewat sekolah Lupus termasuk langka. Kadang sebulan sekali baru lewat. Itu juga kalau sopirnya merasa iseng karena tak ada hal lain yang perlu dikerjakan (hehehe...)



Dan saat itu, Lupus masih asyik berbengong-ria. Saking lamanya, muka udah kaya terminal face. Mana bawaannya lumayan banyak seperti orang yang mau pulang kampung. lni gara-gara guru biologi yang menyuruh bawa contoh-contoh tanaman, baju praktek, dan barang-barang Iain umuk praktekum biologi siang nanti.



Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti para transmigran Iain, Lupus dengan semangat ’45 turut berpartisipasi membudayakan Iari pagi dalam rangka mengejar bis kota. Lumayan, Lupus bisa menyusup ke dalam, berdesakan dengan seorang gadis manis berseragam sekolah. Dan ini memang merupakan satu-satunya nikmat yang diberikan Tuhan buat orang-orang seperti Lupus. Hanya pada saat itu Lupus berani menyentuh cewek, mencium bau parfumnya dan sekaligus mengajaknya ngobrol. Siapa tau jodoh ....



Dan tak terlalu aneh memang kalau Lupus pun mempergunakan kesempatan itu. Setelah berlagak tak sengaja nginjek kaki cewek manis itu, Lupus dengan wajah memelas mencoba memulai komunikasi dengannya. Meski kata orang, menjalin komunikasi itu bisa dengan beberapa cara, tetapi rasanya cara inilah yang paling tepat buat Lupus.



“Eh, maaf, ya. Nggak sengaja. Abis didorong-dorong, sih. Sakit, ya?” ekspresi Lupus benar-benar sempurna menunjukkan rasa penyesalannya. Wah, ada bakat jadi aktor watak dia.



“Enggak. Enggak sakit. Injek aja terus” sahut cewek itu dingin. Lupus kaget. Berkat sandiwaranya yang kurang sempurna, dia sampai Iupa mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek itu.



“Eh, kamu marah, ya?” Wajah Lupus penuh penyesalan. Kali ini serius.



Gadis itu tersenyum.



Oh. God, ini kesempatan baik.



“Nama kamu siapa?” tanya Lupus Iagi setelah beberapa saat saling membisu. Gadis itu sedikit heran mendengar pertanyaan yang rada ‘Iain’ itu. Dasar cowok, abis nginjek minta kenalan. Beberapa saat dia cuma memandang Lupus. Lupus jadi serba salah sendiri. Jadi mikir, apa dosa nanya begitu?



“Saya Yanti. Kamu siapa?” sahutnya balik bertanva.



“Saya Lupus,” jawabnya sambil mengulurkan tangan. Dan bisa ditebak. Untuk seterusnya mereka ngomong soal sekolah, cuaca, film, musik, dan makanan favorit.



Di luar jalanan macet. Pagi-pagi begini memang banyak orang yang bertugas. Tapi Lupus sama sekali tidak mengutuki keadaan itu. MaIah bersyukur. Dan di Senayan, seseorang turun. Meninggalkan bangku kosong yang Iangsung diduduki Yanti. Lupus pun segera menitipkan bawaannya yang banyak kepada Yanti. Contoh-contoh tanaman serta diktat yang besar-besar.



Tapi sial Di sebelah Yanti ternyata duduk seorang cowok yang langsung mengaiak ngomong Yanti. jauh lebih agresif dari Lupus. Ngomongnya disertai humor-humor yang sama sekali tidak Lucu menurut Lupus, tapi bisa membuat Yanti tertawa-tawa kecil. Lupus mengutuki Yanti yang begitu mudah akrab dengan cowok itu, sampai menelantarkan dirinya. Dasar cewek Makinya dalam hati.



Dan dia terus menggerutu sampai kelupaan turun. Akhirnya dengan tergesa-gesa. Lupus pun menerobos desakan penumpang untuk segera melompat ke pintu bis. “Kiri Kiri, Bang” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Sang kondektur memandang sewot ke arahnya. “Sial, lu Bukan dari tadi bilangnya”



Lupus melompat turun sambil meledek kondek· tur yang marah-marah. Lalu jalan menelusuri trotoar. Tapi, astaga Barang-barang bawaan serta diktatnya ketinggalan di bis Lupus Iangsung balik hendak mengejar bis itu, tapi yang tertinggal cuma kepulan debu dan derunya. Lupus habis memaki-maki. Dasar cewek pembawa petaka Percuma tadi bagun pagi-pagi nyari contoh tanaman buat praktek kaIo akhirnya begini Mau pulang Iagi, jelas nggak keburu.



Wah, rasanya mau teriak keras-keras. Menumpahkan kekesalan yang mbludag di hatinya. Tapi situasi tak mengizinkan. Banyak anak-anak sekolah yang Iagi jalan. Jangan-jangan malah dikira gila. JaIan paling aman iaIah memakan permen karet dan menggigitnya keras-keras. Dia nyesel, kenapa tadi rambutnya si Yanti nggak ditempelin permen karet saja, biar tahu rasa



“Hei... Lupus” dari kejauhan terdengar suara cewek memanggil. Lupus segera menoleh. Eh, itu Yanti sambil mengacung-acungkan tanaman serta diktatnya.



“Kamu Iupa bawa ini, ya?” teriaknya Iagi. Wajah Lupus berubah cerah. Lho. Yanti kan harusnya turun di Mayestik, kok dia bela-belain ngebalikin barang-barang itu sih? pikirnya.



“Wah, makasih banget, Yan Bawa sini dong” sahut Lupus girang sambii menghampiri Yanti, tetapi Yanti malah menjauh sambil tertawa-tawa. ”Ayo, tangkap dulu, dong. Hahahaha .... “



Dan Lupus pun mengejarnya dengan mudah. Hm, romantisme ndeso Mereka pun tertawa-tawa.



“Kamu sombong ya, turun nggak bilang-bilang” sahut Yanti terengah-engah. Lupus cuma mencibir. “Kamu sih keasyikan ngobrol sama cowok itu. Jadi ngelupain saya” balas Lupus.



“ldih, cemburu, ya?”



“Nggak” jawab Lupus dengan wajah memerah. Tapi akhirnya Lupus pun dengan setia menemani Yanti menunggu bis yang akan lewat berikutnya. Nggak peduli bel sekolah yang berdentang di kejauhan. Dan dia malah bersyukur ketika bis yang ditunggu tak kunjung tiba.





2. Kencan Pertama





“Kalian liat Lupus?” tanya Poppi pada Ita dan Yuni yang lagi asyik nggosip di ujung sekolah. kelas-kelas sudah rada sepi, pelajaran baru saja berakhir beberapa menit yang Ialu. Tapi beberapa anak masih terlihat nongkrong di sekolah. Masih doyan ngumpul. Heran—padahal besok pasti ketemu lagi.



“Nggak—“ jawab Ita singkat.



“Ke mana sih anak itu? Tadi masuk, kan?”



Poppi jelalatan memandang pada sekelompok anak yang barjalan pulang beriringan.



“Tadi kan waktu keluar main kedua dia dipanggil Pak Kusni, mungkin masih di sana. Ngapain sih nyari dia?”



Poppi cuma tersenyum sambil mengedipkan matanya. Lalu berlari ke ruang kesenian. Betul juga, anak itu Iagi asyik ngobrol sama Pak Kusni. Pasti soal musik atau urusan kesenian Iainnya.



“Selamat siang, Pak. Maap, mengganggu sebentar. Lagi asyik, ya? Saya mau pinjam Lupus sebentar bo|eh?” sapa Poppi ramah. Pak Kusni mengangguk, Lupus pun ditarik ke luar.



“Ada apa, Pop?”



“Saya cuma mau ngasih selamat. Saya sudah baca cerita kamu yang menang sayembara itu. Hayo, kamu nggak bisa mengelak Iagi, katanya mau traktir”



Lupus nyengir sambil mengacak-acak rambutnya.



“Eh, kamu tau juga, ya? Boleh deh kalau kamu mau, asal jangan yang mahal-mahal.”



“Sekarang?”



‘”Terserah. Saya selalu punya kok waktu untuk cewek cakep macam kamu,” goda Lupus.



“Nggak usah ngerayu. Tapi jangan siang ini, ya?”



“Apanya? Ngerayunya?”



“Bukan. Itu, traktirnya. Siang ini saya udah dijemput. Mau Iangsung kursus Inggris. Gimana kaIau... eh, gini aja. Gimana kalau kita nonton aja? Mau?”



“Di tempat gelap-gelapan? Mau dong. Nonton apaan?”



“Apa aja. Di bioskop murahan dekat pasar situ. Kita nonton yang sore aja. jam limaan, soalnya besok kan sekolah. Tapi pulangnya beli bakso, ya?”



“Boleh. Terus berangkatnya gimana? Saya jemput kamu atau kamu jemput sa...”



”Gombal, kamu jemput saya dong. Gitu aja deh, saya udah ditunggu sopir nih. Sampai nanti, ya?”



Poppi berlari ke pintu gerbang. Lupus tersenyum waktu dia membalik dan melambaikan tangannya.





•••





Jam lima kurang seperempat. Lupus belum juga kelihatan batang hidungnya. Keterlaluan. Apa dia tak tau kalau saya udah rapi begini sejak setengah jam yang Ialu? pikir Poppi kesal. Memang benar, pulang dari les lnggris tadi, dia tak biasanya langsung mandi. lengkap dengan gosok gigi dan cuci rambut. Lalu setengah jam duduk di depan kaca. Sibuk dengan segala macam atributnya. Madonna juga kalah menor. Setelah selesai, dia berputar-putar di depan kaca. Ke kiri ke kanan. Persis anak TK Iagi karnaval.





Tapi sekarang, hampir setengah jam dia duduk di teras. Membolak-balik majalah dengan kesal. Poppi tau, Lupus doyan ngaret. Dalam artian suka datang terlarnbat dan suka makan permen karet. Tetapi Poppi sama sekali nggak bisa menerima kalau pada saat bersejarah seperti ini, dia masih mati-matian mempertahankan kebiasaan ngaretnya. Boleh dibilang ini kencan pertama mereka, kalau memang jodoh. Soalnya Poppi sendiri sebetuInya sudah mulai tertarik ketika baru masuk SMA, enam bulan yang Ialu.



Dia masih ingat, saat itu dia langsung ditunjuk jadi ketua kelas. Dan dia pun mulai memerintahkan teman-teman lain untuk membawa segala macam keperluan kelas. Dari sapu. kalender, hiasan dinding, ember, lap, keset, pokoknya macem-macem deh. Soalnya saat itu juga masih dalam masa ‘perkenalan sekolah’. Lupus yang datang terlambat iuga kebagian dapat tugas membawa bulu ayam.



Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, anak-anak sudah ngumpul di sekolah. Hari kedua itu akan diadakan Iomba kebersihan kelas. Maka mulailah Poppi dengan lagak bak panglima perang memeriksa bawaan anak buahnya. Ketika sampai pada bangku Lupus, dia sedikit heran karena anak itu kayanya cuma bawa buku satu. Nggak bawa tas atau bawaan lainnya.



“Hei, mana bulu ayamnya?” “Hm? Oya..., tunggu sebentar. Mudah-mudahan nggak jatuh di jalan” sahut Lupus sambil membolak-balik Iembaran bukunya yang kucel. Lalu dia pun mengambil sehelai buIu ayam yang terselip di situ. “Ini dia. Untung nggak jatuh. Satu cukup, kan? Untuk apa sih? Kilik kuping, ya?” Ianjutnya kalem. Poppi hanya melotot padanva, diiringi tawa teman-teman vang Iain. Tapi Lupus memang tak salah. Dia benar-benar nggak tau kalau yang Poppi maksudkan itu bukan sekadar sehelai bulu ayam, melainkan kemoceng.



Poppi sering geli sendiri jika ingat kejadian itu. Dan entah kenapa, dia jadi suka membayangkan Lupus. Anak itu polos, jarang lho bisa ketemu cowok polos begitu di Jakarta ini.



“Hei, Perawan” teriakan keras dari jalanan mengagetkan Poppi dari lamunannya. Tanpa dia sadari, sekelompok anak muda tengah ramai menertawakannya dari beIik pagar. Poppi langsung melirik ke jam tangannya. Sudah Iewat magrib. Dia pun dengan cepat masuk ke dalam. langsung ke kamar dan menuliskan kalimat I hate Lupus seratus kali di buku hariannya dengan tinta merah. Setelah itu, dia merasa matanya mulai basah ....





•••





Apa pun alasannva, Poppi sudah tak mau dengar lagi. Pasti Iagu lama yang bakal keluar dari mulut Lupus yang brengsek itu. Putusannya sudah bulat, Poppi tak sudi berbicara dengannya lagi. Sakit hatinya diperlakukan begitu. Kalau untuk pertama kali saja Lupus sudah berani mengingkari janji begini, bagaimana untuk seterusnya?





Dan ketika Lupus melewati tempat duduknya, Poppi melengos. Persis lembu. Sedang Lupus dengan sikap yang biasa langsung menuju bangkunya. Menarik-narik rambut Utari yang panjang untuk mima salinan pe-er.



Sampai keluar main kedua, Lupus tetap tidak datang minta maaf pada Poppi. Keterlaluan, pikirnya. Padahal dia sudah dari jam setengah delapan pagi siap pasang muka bertekuk. Siap untuk bersikap sedingin biang es. Tapi Lupus tetap tak datang. Malah asyik ngocol soal Queen sama Meta.



Pulang sekolah tanpa diduga, Lupus menunggu di dekat mobil. Diam memandangi daun-daun yang terbang tertiup angin. Poppi memandang heran ke arahnya. Kadar kemarahannya sudah berkurang sedikit.



“Kamu mau apa?” sahutnya ketus ketika sampai di depan Lupus. Lupus kaget dan menoleh.



“Saya...”



“Sudah ketemu alasan yang pas untuk membela diri?”



“BeIum. Saya justru Iagi nyari. Kamu ada ide? Soalnya saya nggak bakat ngebohong...” sahut. Lupus sedih.



Dengan dongkol Poppi mendorong tubuh Lupus yang menghalangi pintu mobilnya, lalu segera membuka pintu tanpa menoleh.



“Tunggu, kamu nggak adil memperlakukan saya dengan kasar begitu. Saya kan nggak pernah berbuat kasar sama kamu .... ”



“Apa? Saya nggak adil? Dan bagaimana dengan kamu yang seenaknva mengingkari janji waktu kemarin itu ?” bantah Poppi ketus. “Alasan apa Iagi yang mau kamu katakan sekarang?”



“Justru itu yang mau saya bicarakan. Saya nggak punya alasan apa-apa. Makanya saya baru mau ngomong setelah nggak ada teman-teman Iain. Saya malu sekali. Kamu jangan mengira saya nggak sedih batal pergi sama kamu. Kamu harus mengerti saya. Maafkan kecerobohan saya .... ”



“Ini Iebih dari sekadar ceroboh. Ini soal tanggung jawab” teriak Poppi. “Kamu egois Pengecut”



Meledaklah amarah Poppi. Lupus semakin terpojok. Matanya menatap kosong ke depan. Dan sampai sepuluh menit berikutnya, Poppi terus berkicau dengan kecepatan suara yang sukar diukur dengan stop-watch sekalipun. Sampai akhirnya, dia kecapekan sendiri. Menatap Lupus yang sama sekali tidak bereaksi.



“Nah, sekarang terus terang aja. Kenapa kamu nggak datang kemarin sore? Nggak usah berdalih macam-macam” suara Poppi melemah. Lupus kelihatan ragu. ”Saya...”



”Ya, kenapa?” desak Poppi tak sabar.



“Saya nggak tau rumah kamu .... “ suara Lupus pelan sekali.



“Apa?” Poppi terbelalak.



“Maafkan saya. Saya memang paling norak. Saya malu sekali dengan kebodohan saya ini. Sungguh mati, ini yang pertama buat saya untuk pergi dengan seorang gadis. Saya terlalu gembira dan tak tau apa yang harus saya Iakukan. Saya sama sekali nggak sadar kalau saya tak pernah punya alamatmu. Jadi, mana mungkin saya bisa menjemputmu? Kau mau memaafkan saya? Lain kali, saya Janji...” suara Lupus makin pelan.



Beberapa saat, Poppi tak tau apa yang harus dilakukannya. Hanya matanya yang menatap lebih bersahabat.





•••





“Lupus” panggil Poppi pelan, ketika Lupus memasuki kelas keesokan harinya. Lupus Iangsung menoleh dan menghampiri Poppi.





“Ada apa?”



“Hus, jangan keras-kears Anak nakal, nanti sore saya tunggu kamu lagi jam lima. Ini alamat saya, jangan sampai hilang, ya?”



Poppi menyerahkan secarik kertas, Ialu seperti tak terrjadi apa-apa dia berjalan meninggalkan Lupus.



“Eh, tunggu” tahan Lupus.



“Ada apa Iagi?” Poppi celingukan takut kepergok temannya.



“Ini, saya juga mau ngasih alamat. jemputlah saya kalau kamu kelamaan menunggu .... “



Poppi melotot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar